#begins
Kebaya jawa warna merah muda
dengan hiasan kristal putih di bagian bahu kanan sangat pas di tubuh kecil
Binar. Wanita itu memoles wajahnya dengan riasan tipis. Hanya dengan itu pun
wajah Binar sudah terlihat cantik. Dalam perjalanannya menuju kampus, Binar
sibuk memainkan jari-jarinya di laptop tua miliknya.
*^*
Empat tahun. Sudah selama itu
Binar dan Dima hidup berjauhan. Setelah lulus SMA, Binar diterima di UI jurusan
sastra Inggris. Sedang Dima, menurut kabar yang diterima Binar, sampai sekarang
Dima masih mengemban ilmu pendidikan dokter di UGM.
Dengan adanya kenyataan itu, Binar tetap dengan
keputusannya untuk menunggu Dima. Satu-satunya orang yang ia percaya di dunia
ini selain Allah. Allah tidak pernah ingkar akan janjinya untuk hamba-hambanya
yang beriman kepadaNya. Begitu pun apa yang ia percaya pada sosok Dima. Janji
lama Dima masih melekat di pikirannya. Ia enggan untuk melupakan setiap detail
kenangan tentang Dima. Setiap malam setelah letih belajar di kampus, Binar
selalu menyisipkan Dima dalam do’anya.
Mereka
berdua menjalani kehidupan mereka masing-masing yang berbeda disemua sisinya.
Sejauh apapun mereka terpisah, mereka masih saling menginginkan. Mengharapkan
adanya hari dimana mereka akan bertemu kembali dan menghancurkan dinding kerinduan
selama ini. Ya, sampai sekarang mereka masih saling merindukan.
@Reuni Angkatan ke-49 SMA 13 Jakarta, 27 Februari 2015
“Kakak
gue yang di UGM bilang kalau Dima pacarnya Resti. Ya Resti senior kita dulu.
Nggak percaya kan lo?” Sejak Salsa memberitahukan mengenai hal itu, Binar sama
sekali tidak antusias dalam acara reuni tersebut. Sampailah Binar dirumahnya.
Akhir pekan seperti ini memang sering Binar manfaatkan untuk pulang ke rumahnya
di Jakarta Utara. Sekedar untuk memastikan kalau keadaan keluarganya di rumah
baik-baik saja.
Badan Binar
malam itu menggigil hebat. Demamnya tidak kunjung menurun. Ibu Binar sangat
khawatir dengan keadaan Binar yang mendadak memburuk, jadi sepanjang malam itu beliau
menjaga Binar.
Perlahan
mata Binar terbuka seiring dengan cahaya matahari yang sedikit demi sedikit
memasuki ruang kamarnya melalui celah-celah korden. Saat itu ibunya sedang bersandar
pada bantal tepat disamping tubuh lemahnya terbaring. Tangan kanan ibu Binar mengelus
kepala Binar dengan lembut. Binar segera bangkit lalu memeluk ibunya dengan
erat. Seketika itu pipi Binar sudah basah di kedua sisinya. Binar hanya dapat
menangis. Tidak ada lagi kata-kata yang mampu menggantikan rasa pedih dalam
hatinya. Ibunya menepuk-nepuk pelan punggung Binar. Seakan tahu akan suasana
hati putrinya sekarang, beliau tidak menanyakan apapun melainkan sebuah
kalimat, “Syukurlah kamu sudah baikan.”
Ketika aku membenci seseorang, selalu saja kebaikannya
yang terlintas dalam benak. Kalau sudah begitu, bagaimana aku bisa membencinya?
Binar merasa bodoh dan tidak berguna. Kalau untuk
membenci Dima saja tidak sanggup, apakah untuk melupakan Dima juga tidak bisa
ia lakukan? Lalu apa kiranya yang bisa ia lakukan untuk seseorang yang sudah mengkhianatinya?
Menangisinya?
@Jogja
“Nyerah aja deh Res, nggak
capek apa gitu-gitu terus?” sindir Adit, teman dekat Dima dan Resti.
“Cowok dewasa, sholeh,
pengertian, baik dan pintar bisa gue dapetin dimana lagi?” balas Resti. Resti
sudah terlanjur ‘lelah’ dengan nama Binar yang selalu Adit bawa di setiap
ceramahnya. Ia tahu betul soal Dima dan masa lalunya, Binar. Tapi itu sudah
empat tahun yang lalu, kan? Apa ada sesuatu yang bisa tidak berubah dalam waktu
selama itu?
*^*
“It feels like you’re right in front of me, it’s like I can touch you
when I reach my hands out..” gumam Dima sambil menggerak-gerakkan jemarinya
diatas meja yang hampir penuh dengan buku setebal novel Harry Potter. Saat itu
Resti tiba-tiba menarik kursi lalu duduk tepat di depan meja Dima. Dima hanya
mengangkat alisnya.
“Dim, gue suka sama lo.”
Dima menarik earphone yang
menempel di telinganya. “Apa?”
Resti menarik nafas panjang
lalu berkata, “Tujuh tahun kita sekolah bareng kan, Dim? Selama itu gue selalu
ada buat lo. Setiap lo butuh bantuan gue selalu berusaha buat bantu. Lo juga
selalu ada buat gue selama di Jogja. Apa lo mau narik ulur hati gue terus? Gue
harus nunggu lo sampai kapan?”
Dima terlihat speechless. Ia mengusap dagunya sambil
menatap wanita di hadapannya. Memang benar apa yang dikatakan Resti.
Sudut bibir kanannya
terangkat ke atas. “Soal perasaan kan yang lagi lo singgung?” Resti mengangguk.
“Ini bukan soal berapa lama dan sejauh apa kedekatan seseorang dengan seorang
yang lain, tapi soal siapa atau apa yang ada di hati seseorang itu. Jadi
jawaban gue adalah perasaan gue ke elo nggak lebih dari perasaan seorang
sahabat. Kalau ini menyangkut soal kedekatan gue sama seseorang, mereka harus
tahu kalau gue selalu punya orang lain di hati gue. Dan cuma gadis itu orangnya.”
Resti mendesah, “Binar?”
Dima menjulurkan ibu jarinya
kepada Resti. Lalu ia menumpuk buku-buku tebal tadi, setelahnya membereskan
beberapa alat tulis yang juga berserakan di meja itu. Resti menahan air matanya
dibalik tatapan matanya yang terus mengamati Dima yang sedang sibuk dengan
dunianya, seakan tidak ada Resti di ruangan itu. “Dim, kasih gue alasan buat
ngebuang rasa suka gue ke elo.”
Dima mengalihkan pandangannya
pada Resti yang pipinya mulai memanas, menahan tangis. “Dengerin gue, ini bukan
karena gue nggak suka sama lo. Selama ini gue bertahan karena janji gue ke
Binar. Gue serius sama apa yang gue janjiin ke Binar. Mungkin lo kira gue udah
lupa sama Binar karena gue nggak pernah sekalipun kasih kabar ke dia, tapi lo
salah. Gue nggak pernah absen buat baca email yang Binar kirim ke gue. Dia
tulus sayang sama gue. Dia mau nungguin gue. Cuma dia yang tahu baik buruknya gue.
Gue nggak pernah kasih peluang cewek lain buat deket dan cari tahu soal gue
karena gue nggak mau ngecewain Binar. Dan, karena gue bener-bener sayang sama
Binar.”
@UI, 16 Mei 2016. 11;00 am
Binar sedang mengantri untuk berfoto di dinding yang
ditempeli banner besar bertuliskan ‘Selamat dan Sukses Selalu’. Ketika ia sudah
berpose, seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya sambil menyodorkan satu
buket bunga mawar merah hati.
“Nggak telat kan?” katanya.
Nafas Binar terhenti sesaat, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ini..
semacam sihir yang sudah lama tidak ia rasakan. “Ayo hadap ke kamera, Bin.”
Lanjutnya. Binar pun menghadap ke kamera, lalu tersenyum semanis yang ia bisa. Klik!
*^*
Mereka
akhirnya keluar dari aula tempat diadakannya wisuda Binar. Mereka berhenti di
tempat pengambilan foto wisuda. “Buat Dima satu ya?” tanya Dima. Laki-laki yang
sekarang sudah berumur 23 tahun itu mengenakan kemeja putih yang di bagian
lengannya ia gulung beberapa lipatan ke atas. Binar tak menjawab, matanya masih
tersihir oleh kehadiran Dima. Sepoi angin yang berhembus membuat atmosfer di
antara kedua orang itu menjadi terasa damai.
“Kedatangan
kak Dima bukan untuk meninggalkan Binar lagi, kan?” tanya Binar yang matanya
sudah dipenuhi cairan bening.
“Dengan
kebaikan Allah, dari Jogja aku bisa kesini tepat waktu. Allah kasih kemudahan
ke aku biar bisa terus mantau Binar dari kejauhan. Allah juga yang membuat
perasaan kita tetap sama seperti saat dulu kita pernah berpisah. Jadi, benar
kan kalau aku bilang kita ini memang berjodoh, Bin?”
Binar
menangis, terharu mendengarnya. Memang Allah sudah menentukan kalau mereka akan
bertemu suatu saat nanti, jadi kala itu Binar diberi kekuatan saat kabar miring
soal Dima tersebar.
“Terimakasih kak sudah datang. Aku sangat bersyukur.”
END
By;
Aldilanita Safira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
think before comment (: