we born to be HAPPY - welcome! read and get some inspiration :)

Kamis, 10 April 2014

Sequel "Last Conversation"

Cerpen.

#begins


Kebaya jawa warna merah muda dengan hiasan kristal putih di bagian bahu kanan sangat pas di tubuh kecil Binar. Wanita itu memoles wajahnya dengan riasan tipis. Hanya dengan itu pun wajah Binar sudah terlihat cantik. Dalam perjalanannya menuju kampus, Binar sibuk memainkan jari-jarinya di laptop tua miliknya.





*^*

            Empat tahun. Sudah selama itu Binar dan Dima hidup berjauhan. Setelah lulus SMA, Binar diterima di UI jurusan sastra Inggris. Sedang Dima, menurut kabar yang diterima Binar, sampai sekarang Dima masih mengemban ilmu pendidikan dokter di UGM.
                
           Dengan adanya kenyataan itu, Binar tetap dengan keputusannya untuk menunggu Dima. Satu-satunya orang yang ia percaya di dunia ini selain Allah. Allah tidak pernah ingkar akan janjinya untuk hamba-hambanya yang beriman kepadaNya. Begitu pun apa yang ia percaya pada sosok Dima. Janji lama Dima masih melekat di pikirannya. Ia enggan untuk melupakan setiap detail kenangan tentang Dima. Setiap malam setelah letih belajar di kampus, Binar selalu menyisipkan Dima dalam do’anya.

Mereka berdua menjalani kehidupan mereka masing-masing yang berbeda disemua sisinya. Sejauh apapun mereka terpisah, mereka masih saling menginginkan. Mengharapkan adanya hari dimana mereka akan bertemu kembali dan menghancurkan dinding kerinduan selama ini. Ya, sampai sekarang mereka masih saling merindukan.

@Reuni Angkatan ke-49 SMA 13 Jakarta, 27 Februari 2015

“Kakak gue yang di UGM bilang kalau Dima pacarnya Resti. Ya Resti senior kita dulu. Nggak percaya kan lo?” Sejak Salsa memberitahukan mengenai hal itu, Binar sama sekali tidak antusias dalam acara reuni tersebut. Sampailah Binar dirumahnya. Akhir pekan seperti ini memang sering Binar manfaatkan untuk pulang ke rumahnya di Jakarta Utara. Sekedar untuk memastikan kalau keadaan keluarganya di rumah baik-baik saja.
           
           Badan Binar malam itu menggigil hebat. Demamnya tidak kunjung menurun. Ibu Binar sangat khawatir dengan keadaan Binar yang mendadak memburuk, jadi sepanjang malam itu beliau menjaga Binar.

Perlahan mata Binar terbuka seiring dengan cahaya matahari yang sedikit demi sedikit memasuki ruang kamarnya melalui celah-celah korden. Saat itu ibunya sedang bersandar pada bantal tepat disamping tubuh lemahnya terbaring. Tangan kanan ibu Binar mengelus kepala Binar dengan lembut. Binar segera bangkit lalu memeluk ibunya dengan erat. Seketika itu pipi Binar sudah basah di kedua sisinya. Binar hanya dapat menangis. Tidak ada lagi kata-kata yang mampu menggantikan rasa pedih dalam hatinya. Ibunya menepuk-nepuk pelan punggung Binar. Seakan tahu akan suasana hati putrinya sekarang, beliau tidak menanyakan apapun melainkan sebuah kalimat, “Syukurlah kamu sudah baikan.”      


Ketika aku membenci seseorang, selalu saja kebaikannya yang terlintas dalam benak. Kalau sudah begitu, bagaimana aku bisa membencinya?


                Binar merasa bodoh dan tidak berguna. Kalau untuk membenci Dima saja tidak sanggup, apakah untuk melupakan Dima juga tidak bisa ia lakukan? Lalu apa kiranya yang bisa ia lakukan untuk seseorang yang sudah mengkhianatinya? Menangisinya?

@Jogja   

“Nyerah aja deh Res, nggak capek apa gitu-gitu terus?” sindir Adit, teman dekat Dima dan Resti.

“Cowok dewasa, sholeh, pengertian, baik dan pintar bisa gue dapetin dimana lagi?” balas Resti. Resti sudah terlanjur ‘lelah’ dengan nama Binar yang selalu Adit bawa di setiap ceramahnya. Ia tahu betul soal Dima dan masa lalunya, Binar. Tapi itu sudah empat tahun yang lalu, kan? Apa ada sesuatu yang bisa tidak berubah dalam waktu selama itu?

*^*

It feels like you’re right in front of me, it’s like I can touch you when I reach my hands out..” gumam Dima sambil menggerak-gerakkan jemarinya diatas meja yang hampir penuh dengan buku setebal novel Harry Potter. Saat itu Resti tiba-tiba menarik kursi lalu duduk tepat di depan meja Dima. Dima hanya mengangkat alisnya.

“Dim, gue suka sama lo.”

Dima menarik earphone yang menempel di telinganya. “Apa?”

Resti menarik nafas panjang lalu berkata, “Tujuh tahun kita sekolah bareng kan, Dim? Selama itu gue selalu ada buat lo. Setiap lo butuh bantuan gue selalu berusaha buat bantu. Lo juga selalu ada buat gue selama di Jogja. Apa lo mau narik ulur hati gue terus? Gue harus nunggu lo sampai kapan?”
Dima terlihat speechless. Ia mengusap dagunya sambil menatap wanita di hadapannya. Memang benar apa yang dikatakan Resti.

Sudut bibir kanannya terangkat ke atas. “Soal perasaan kan yang lagi lo singgung?” Resti mengangguk. “Ini bukan soal berapa lama dan sejauh apa kedekatan seseorang dengan seorang yang lain, tapi soal siapa atau apa yang ada di hati seseorang itu. Jadi jawaban gue adalah perasaan gue ke elo nggak lebih dari perasaan seorang sahabat. Kalau ini menyangkut soal kedekatan gue sama seseorang, mereka harus tahu kalau gue selalu punya orang lain di hati gue. Dan cuma gadis itu orangnya.”

Resti mendesah, “Binar?”

Dima menjulurkan ibu jarinya kepada Resti. Lalu ia menumpuk buku-buku tebal tadi, setelahnya membereskan beberapa alat tulis yang juga berserakan di meja itu. Resti menahan air matanya dibalik tatapan matanya yang terus mengamati Dima yang sedang sibuk dengan dunianya, seakan tidak ada Resti di ruangan itu. “Dim, kasih gue alasan buat ngebuang rasa suka gue ke elo.”

Dima mengalihkan pandangannya pada Resti yang pipinya mulai memanas, menahan tangis. “Dengerin gue, ini bukan karena gue nggak suka sama lo. Selama ini gue bertahan karena janji gue ke Binar. Gue serius sama apa yang gue janjiin ke Binar. Mungkin lo kira gue udah lupa sama Binar karena gue nggak pernah sekalipun kasih kabar ke dia, tapi lo salah. Gue nggak pernah absen buat baca email yang Binar kirim ke gue. Dia tulus sayang sama gue. Dia mau nungguin gue. Cuma dia yang tahu baik buruknya gue. Gue nggak pernah kasih peluang cewek lain buat deket dan cari tahu soal gue karena gue nggak mau ngecewain Binar. Dan, karena gue bener-bener sayang sama Binar.”

@UI, 16 Mei 2016. 11;00 am

                Binar sedang mengantri untuk berfoto di dinding yang ditempeli banner besar bertuliskan ‘Selamat dan Sukses Selalu’. Ketika ia sudah berpose, seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya sambil menyodorkan satu buket bunga mawar merah hati.

“Nggak telat kan?” katanya. Nafas Binar terhenti sesaat, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ini.. semacam sihir yang sudah lama tidak ia rasakan. “Ayo hadap ke kamera, Bin.” Lanjutnya. Binar pun menghadap ke kamera, lalu tersenyum semanis yang ia bisa. Klik!

*^*

Mereka akhirnya keluar dari aula tempat diadakannya wisuda Binar. Mereka berhenti di tempat pengambilan foto wisuda. “Buat Dima satu ya?” tanya Dima. Laki-laki yang sekarang sudah berumur 23 tahun itu mengenakan kemeja putih yang di bagian lengannya ia gulung beberapa lipatan ke atas. Binar tak menjawab, matanya masih tersihir oleh kehadiran Dima. Sepoi angin yang berhembus membuat atmosfer di antara kedua orang itu menjadi terasa damai.

“Kedatangan kak Dima bukan untuk meninggalkan Binar lagi, kan?” tanya Binar yang matanya sudah dipenuhi cairan bening.

“Dengan kebaikan Allah, dari Jogja aku bisa kesini tepat waktu. Allah kasih kemudahan ke aku biar bisa terus mantau Binar dari kejauhan. Allah juga yang membuat perasaan kita tetap sama seperti saat dulu kita pernah berpisah. Jadi, benar kan kalau aku bilang kita ini memang berjodoh, Bin?”

Binar menangis, terharu mendengarnya. Memang Allah sudah menentukan kalau mereka akan bertemu suatu saat nanti, jadi kala itu Binar diberi kekuatan saat kabar miring soal Dima tersebar. 

“Terimakasih kak sudah datang. Aku sangat bersyukur.”

END

By; Aldilanita Safira       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

think before comment (: