[Diikutkan dalam kontes fanfic The Chronicles of Audy Penerbit Haru]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Krekk!
Seharian ini─ lebih tepatnya,
selama dua minggu di bulan ini aku tidak punya banyak waktu untuk istirahat.
Tidur berkualitas selama 6 sampai 8 jam sehari hanya mitos bagiku.
“Au!
Ngapain bengong disitu?” seorang anak bertubuh jangkung berjalan mendekatiku.
Aku terkesiap dan nyaris jatuh ke kolam renang.
Aku menoleh dan melempar senyum
sebal. “Nggak tahu orang lagi semedi?” aku kembali meRomeogkan pinggangku dan,
Kreekk!
Sial. Umpatku dalam hati begitu
mendengar bunyi mengerikan dari persendianku. Lebih keras dari sebelumnya.
“Lama-lama bisa patah pinggang
tuamu,” laki-laki itu menarik lenganku
secara paksa, membawaku pergi menjauh dari pinggiran kolam renang menuju
beranda yang kerangkanya terbuat dari kayu. Aku hanya pasrah karena memang
tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain mengiyakan ajakannya. Walaupun ajakan
itu terkadang dalam bentuk tindakan. Mencubit pipi, mendorong punggung atau
menarik lenganku seperti barusan. Semakin lama aku menghabiskan waktu dengan laki-laki
ini, kelakuannya semakin menyebalkan!
Aku melihat hamparan air di depan
kami. Aku pun melirik laki-laki disampingku yang masih betah mencengkram lengan
atasku. “Aku nggak mau lari kesana,” tukasku. Angin sepoi-sepoi menerpa kulit
wajahku dan memainkan helaian poni rataku. Memang benar aku bodoh bila
melewatkan kesempatan sekali seumur hidupku untuk melihat sunset di pantai Maratua (dan mungkin aku akan menyesal bila
benar-benar melewatkannya), tapi membayangkan ide-ide gila yang bisa laki-laki
ini lakukan padaku saja, aku sudah mual. Lebih baik segera mendeklarasikan
penolakan keras terhadap ajakannya melihat sunset!
Aku memicingkan mataku, berusaha terlihat serius, “dan kali ini, aku nggak mau
dipaksa sama bocah SMA!”
Sudut kanan bibirnya terangkat, bulu kudukku
ikut naik.
“Kalau digendong masih nggak mau,
Au?” Tanya Romeo. Oke, namanya adalah Romeo. Barusan ia melontarkan kalimat itu
dengan seringai, siapa yang tidak tergoda? Aku tidak. Aku malah merasa ngeri.
Aku berdehem, “Oke, tapi tidak
ada Au-Au lagi, atau yang barusan kamu katakan.” Romeo lantas tersenyum lebar
dan mengangguk cepat.
Biar kujelaskan, aku tidak sedang
dalam rekreasi bersama keluarga atau pacar, melainkan sedang bekerja. Mungkin
terdengar aneh karena aku sendiri sempat bingung ketika mendapatkan tugas kerja
ini. Romeo, cowok yang baru tamat SMA itu adalah putra ketiga dari duta besar
Inggris di Indonesia. Romeo baru tiga bulan tinggal di Indonesia, tetapi dia sudah
menguasai bahasa Indonesia. Andai saja tidak, aku bisa dengan leluasa
mengumpatnya tanpa ampun!
Romeo adalah seorang jenius
yang bisa melakukan apa pun dengan tampang bulenya. Buktinya, sekarang dia
tengah mengobrol-sangat-asyik dengan gadis asli pulau ini. Romeo sama sekali
tidak melibatkan aku dalam diskusi itu dan meninggalkan aku di tepi pantai
begitu saja. Aku merutuki diriku sendiri karena mengiyakan ajakan Romeo untuk
melihat sunset.
Sunset gundulmu!
Aku
menghela napas dan mulai melipat lengan kemeja putihku. Melihat pasir putih
yang kupijak saat ini membuat suasana hatiku sedikit membaik. Rasanya sudah
lama sekali aku tidak mencium ‘bau’ pantai. Setidaknya, aku harus bisa
bersenang-senang alih-alih hanya menunggu Romeo merayu seorang wanita. Tanpa aba-aba,
aku sudah berlari menuju pantai. Kakiku bergerak cepat menerjang ombak kecil
yang datang menghampiri. Layaknya balita, aku juga berteriak kecil ketika ombak
berikutnya menerjangku dan membuat celana jinsku basah.
“Auuu!”
Aku pura-pura tidak mendengar Romeo
yang memanggilku dari tempat dimana ia meninggalkanku tadi. Aku memungut sebuah
batu yang berbentuk bintang dan sedang mengamatinya ketika ada ombak besar
tiba-tiba datang. Aku pun terseret dan tumbang di pantai. Sekarang sudah pasti
kemeja putih polosku tidak tertolong lagi. Aku masih dalam posisi duduk dan mataku
kemasukan air atau mungkin pasir. Sebuah tangan menarikku dan menopang tubuhku
untuk bangkit.
Jari-jari Romeo menyentuh pipiku,
“Kamu nggak apa-apa, Au?” tanyanya. Aku masih belum bisa membuka mata, aku
hanya menganggukkan kepalaku pelan. “Bajumu basah Au,” katanya. Tanpa pernyataan
itu, aku pun sudah tahu kalau bajuku basah. Dasar bocah!
Selanjutnya, setelah Romeo
memastikan tidak ada lagi pasir di wajahku, aku pun membuka mataku. Orang
pertama yang kulihat, tentu saja Romeo dan─ tunggu, kenapa gadis pulau itu
berdiri di depan kami sambil membawa kamera milik Romeo?
“Sekarang sudah bisa ambil foto
kami,” kata Romeo pada gadis berkulit hitam itu. Gadis itu mengangguk-angguk
dan bersiap mengambil foto kami. Tunggu! Apa?!
“Foto apa?” tanyaku, Romeo hanya
tersenyum. Aku menatap Romeo dan gadis itu secara bergantian. “Jangan bercanda!
Penampilanku sama sekali tidak menarik untuk difoto!” teriakku frustasi. Kenapa
mengambil foto ketika aku sedang dalam keadaan jelek seperti ini? Kenapa tidak
tadi pagi ketika berkunjung ke pulau Derawan saja?! Atau, kenapa ia tidak
mengambil foto siang tadi saat aku sedang menggendong kura-kura di pesisir
pantai?! Sial. Aku benar-benar tidak bisa membaca pikiran bocah ini.
“Bawel banget sih,” Romeo
memegang bahuku dengan kedua tangannya dan memposisikan tubuhku menghadap tepat
di depan kamera. Lagi-lagi aku tidak bisa berkutik karena terlalu sebal. “Ini
momen terakhir sebelum balik ke Jakarta.” Tambah Romeo.
Sisanya, aku dan Romeo hanya
duduk santai di pasir sambil melihat tenggelamnya matahari. Benar kata Romeo,
sekarang adalah malam terakhirku di pulau kecil yang terletak di Sulawesi ini.
Memang pekerjaanku hanya menjaga Romeo selama berlibur di Indonesia, tetapi
banyak hal baru yang kudapatkan. Melalui Romeo, aku jadi banyak tahu soal
pulau-pulau kecil di Indonesia yang belum terekspos. Seperti pulau Maratua ini.
Such a paradise!
Baiklah, Romeo pantas mendapatkan
ucapan terima kasihku.
“Au, kepiting!”
Sontak aku menjerit ketika seekor
kepiting tiba-tiba mendarat tepat di pangkuanku. “Romeoooo!”
Romeo tertawa penuh kemenangan melihatku
bersusah payah menyingkirkan kepiting itu dari tubuhku.
Aku lebih baik mati daripada
harus berterima kasih pada Romeo!
**
Setelah mendarat dengan selamat
di Jakarta satu minggu yang lalu, aku langsung meluncur ke apartemen kecilku di
Bandung. Tanpa Romeo tentunya.
Satu minggu pertama kuhabiskan
dengan berdiam diri di apartemen. Makan, mandi, menonton film, tidur. Aku masih
memiliki dua minggu sebelum kembali ke Jakarta. Setelah lulus dari Universitas
Gadjah Mada dua tahun yang lalu, aku masih belum memiliki pekerjaan tetap.
Tempatku magang juga berpindah-pindah. Tempat magang terakhirku adalah di Departemen
Luar Negeri. Selama dua bulan aku berada di sana, sampai akhirnya aku
dipindahkan ke kedutaan besar Inggris. Itu pun masih ‘magang’.
Aku menghela napas sambil
mengetuk-ngetukkan jari telunjukku pada layar ponselku. Mungkin alasanku tidak
bisa serius bekerja adalah karena orang ini. Tatapanku kosong melihat wajah
yang terpampang di layar ponselku.
Namanya Rex. Laki-laki tampan tanpa poni, mengenakan kemeja biru dongker, jam tangan kulit melingkar
di pergelangan kirinya dalam foto itu. Dan ia tersenyum.
Dia kekasihku. Ya, setidaknya aku
masih menganggapnya begitu. Sudah satu tahun lebih aku tidak melihat Rex.
Terakhir kali kami bertemu, janggutnya sudah mulai tumbuh di dagunya. Oh, God, aku sangat merindukan setiap detail
tentangnya, tentang laki-laki yang usianya lebih muda dariku itu.
“Hmm,” aku memejamkan mataku.
Berusaha keras mengusir perasaan rindu yang tak terbalas. Aku tahu Rex pergi ke
Jerman bukan untuk menjauhiku, apalagi untuk mencari wanita lain. Dia pergi karena
mendapat beasiswa kuliah arsitek di sana. Memikirkan apa saja yang Rex lakukan
selain mengejar cita-citanya itu membuatku sangat frustasi. Bisa saja gadis-gadis
disana menggoda Rex, atau malah Rex sudah bosan denganku, lalu mulai mengencani
gadis Jerman?
Tiba-tiba
wajah polos Romeo muncul. Great. Apa
aku harus memacari laki-laki Inggris itu? Terlepas dari sifatnya yang
menjengkelkan, tampangnya sangat oke dan… dia kaya. Mungkin sangat kaya
sampai-sampai menyuruh ayahnya untuk menyewaku sebagai tour guide-nya. Aku mikir apa sih!!
Aku
langsung tersadar kalau berpacaran dengan Romeo berarti aku tidak akan pernah
bisa hidup dengan tenang. Aku bertaruh kalau dia punya dendam pada seseorang di
sekolahnya, lalu habis-habisan melampiaskannya padaku. Sudah ratusan kali aku
menyesali keputusan bodohku. Saat itu aku sedang sangat malas mengerjakan
jurnal-jurnal dan langsung mengiyakan tawaran untuk menjadi pendamping Romeo
selama liburan, karena kupikir aku tidak benar-benar harus menemani Romeo
(karena Romeo sudah 18 tahun dan pastinya bisa menjaga diri) dan dengan begitu
aku bisa liburan tanpa harus membuat satu pun jurnal.
Aku
tersenyum hambar. Bahkan laki-laki setampan dan sekaya Romeo tidak bisa menggantikan
Rex yang sudah lama bertengger dihatiku. Aku pasti sudah gila karena masih
berharap Rex datang, walaupun hanya dalam mimpiku.
Drrrrt…drrrttt..
“Ha─”
“Audy”
Jantungku
serasa jatuh ke tanah. Hanya dengan “Audy”-nya, aku bisa langsung tahu siapa
yang meneleponku. Tanpa terasa, ujung mataku sudah basah.
Aku
masih diam sampai akhirnya suara berat itu kembali memasuki gendang telingaku.
“Kok diem? Aku di luar nih. Bukain pintu dong.”
Mulutku
menganga seketika. Ponselku nyaris lepas dari genggamanku.
“Audy?”
Aku
langsung loncat dari ranjangku dan berlari ke pintu masuk. Saking gugupnya,
sampai-sampai tanganku dingin dan gemetar. Aku tidak sedang berhalusinasi, kan?
Tepat
setelah aku membuka pintu apartemenku, aku melihat laki-laki berparas pangeran
yang fotonya kujadikan wallpaper
ponselku. Ia berdiri sambil menenteng tas dan─ seorang bayi?
Aku
buru-buru mengerjapkan mataku. Aku melihat Rex─ pacarku menggendong bayi?!
Aku
mematung cukup lama di sana. Tatapanku dibalas dengan senyuman Rex dan suara
dengkuran bayi yang tengah terlelap itu. Sudah pasti ini halusinasi. Iya, pasti
begitu. Detik berikutnya aku mendorong daun pintu itu, bermaksud untuk menutup
kembali pintu itu, tapi kaki Rex menghalanginya. Dengan tangan kanannya, Rex
membuka lebar pintu apartemenku dan beranjak masuk ke dalamnya.
Rex
melewatiku begitu saja. Aroma tubuhnya terasa asing. Aku hampir saja pingsan di
tempat kalau Rex tidak memanggil namaku, “Audy, banyak debu. Kamu sibuk kerja,
ya?”
Aku
membalikkan tubuhku dan mendapati Rex sedang menidurkan bayi itu di sofa. Aku
berjalan mendekatinya, tanpa suara. Memang ini yang kuinginkan. Rex tiba-tiba
datang tanpa kuminta, tapi aku merasa ganjil. Seharusnya Rex memelukku dan
memberiku bunga atau semacamnya sebagai kejutan, tapi ia malah membawa
entah-bayi-siapa dan mengabaikan keberadaanku. Bahkan Rex lebih mengkhawatirkan
apartemenku yang berdebu ketimbang aku yang ia tinggalkan selama satu tahun
lebih!
Tubuhku
seperti tak bertulang melihat Rex mengelus-elus kepala bayi itu. Tatapan Rex
begitu teduh dan penuh cinta.
“Rex,
katakan padaku kalau dia bukan anakmu.”
Rex
mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. “Rex,” aku memanggilnya lagi. Aku masih
berdiri di tempat, tidak bergerak satu senti pun. Tidak sampai Rex menjawab
pertanyaanku.
“Rex…”
kali ini nadaku terdengar memohon.
Nihil.
Senyum Rex mulai memudar, digantikan dengan wajah tanpa dosanya sambil berkata,
“Tolong jagain Rafael, ya, Audy.”
Setelah itu duniaku gelap. Sangat gelap.
**
“Romeo!
Jangan gigitin jarinya Rafael!” aku sangat gemas melihat tingkah Romeo yang
lebih kekanakan dari seorang bayi. Aku tidak menyangka kalau Romeo masih
tinggal di Indonesia dan enggan buru-buru balik ke Inggris untuk melanjutkan
sekolahnya. Akhirnya aku harus kembali bertemu dengan otak jail itu. Yang lebih
menyebalkan, selain Romeo dan jurnal-jurnalku, aku harus mengurus Rafael. Bayi berumur
2 tahun yang dibawa oleh pacarku, Rex. Mungkin aku sudah membuat keputusan
bodoh lainnya dengan mengiyakan permintaan Rex untuk menjaga bayi ini selama
Rex membuat tugas akhir semesternya. Anehnya, aku sama sekali tidak keberatan.
Mungkin aku sudah benar-benar gila. Entah karena Romeo atau karena rindu
setengah matiku pada Rex. Yang jelas aku masih belum tahu siapa orangtua Rafael
dan kenapa Rex mau repot-repot membawanya kemari.
“Rafael
pasti bukan anak kamu kan, Au?”
“Memangnya
kenapa?”
Romeo
menatapku, lalu menatap Rafael yang sedang bermain dengan syal rajutku. Dahinya
berkerut, “soalnya muka Rafael bule banget, kalo kamu─” aku melempar buku
setebal novel Twilight ke arah wajah Romeo, ia berhasil menangkasnya dengan cepat.
Dan sambil tertawa. Aku kembali menenggelamkan diri ke tugas yang sore ini
sudah harus selesai. Adanya Romeo memang banyak membantuku. Ia dengan senang
hati mau mengajak bicara bayi yang belum bisa bicara dan sesekali mau mengganti
popok Rafael.
Hari
sudah sangat larut, aku tidak mungkin naik taksi sambil menggendong Rafael.
Terlalu berisiko. Akhirnya aku meminta Romeo mengantarku pulang ke kos.
Biasanya hanya perlu waktu sepuluh menit, tapi bukan Romeo kalau ia tidak
mengulur-ulur waktu untuk menggangguku.
“Apa
yang kamu rasakan?” tanya Romeo tepat saat mobil berhenti di lampu merah. Aku
meliriknya, lalu membuang muka ke jalanan yang terlihat sedikit ramai. “Should I ask you in English, Au?”
Tatapanku
menerawang jauh ke jalanan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Aku belum tahu
hubungan apa yang dimiliki Rex dengan Rafael. Rex kembali seolah-olah tidak ada
yang terjadi. Dan seperti boneka, aku sama sekali tidak merasakan sakit. Aku
hanya bahagia karena Rex sudah kembali. Setidaknya, dia masih mengingatku. Tapi
apa aku sebodoh itu? Perempuan mana yang tidak curiga dengan pacarnya yang
pulang dari luar negeri membawa seorang bayi?
Kupikir
aku tidak bodoh, hanya kelewat bodoh.
Kami
akhirnya sampai di kos pukul 11 malam. Aku sudah melarang Romeo membantuku
menggendong Rafael, tapi ia bersikeras ingin membantu karena barang bawaanku
sangat banyak, sekaligus ia ingin melihat tempat tinggalku.
“Lima
menit saja, oke?” Romeo tidak mengindahkan perkataanku dan langsung masuk ke
dalam kos begitu aku membuka pintu. Masih seperti pagi tadi ketika aku pergi ke
kantor, baju-baju bayi berserakan di atas sofa. Aku sampai lupa membereskan laptop
dan buku-buku tebalku saking sibuknya mengurus Rafael semalam. Aku menyingkirkan
dua tas besar di atas kursi kayu agar Romeo dapat ruang untuk duduk. “Cepat
taruh Rafael di kasur dan pergi dari sini.” Omelku melihat Romeo yang malah
asyik melihat-lihat ruangan berantakan ini sambil menggendong Rafael.
“Mana
ayah Rafael? Dia nggak tinggal di sini?”
Kalau Romeo tidak sedang menggendong bayi,
mungkin tas ditanganku sudah melayang ke wajahnya. Aku menarik napas dalam dan
menghembuskannya dengan kasar, “sudah kubilang Rex itu pacarku, bukan ayah
Rafael!”
“Lalu
kenapa dia bawa anak ke sini?”
Skak
mat.
“Audy,”
aku menoleh dan melihat Rex sedang berdiri di ambang pintu kosku. “Siapa dia?”
tanya Rex dengan tatapan tidak senang.
“Teman,”
jawabku. Aku segera mengambil alih Rafael dari Romeo dan berdiri di sampingnya.
“Nanti kuceritakan.” Tambahku.
Rex
masih memandang Romeo, begitu juga Romeo. Akhirnya tanpa sepatah kata, Romeo
bersedia pergi dan meninggalkan kami berdua. Tepatnya bertiga, dengan Rafael
yang sudahh terlelap di kasur empukku.
“Kamu
berubah, Audy.” Kata Rex membuka percakapan. “dan aku tidak suka itu.”
“Bukankah
ada yang lebih penting dari ini, Rex?” kataku balik bertanya. Bermaksud memojokkan
Rex. Rex mendekatiku dan meraih tanganku. Ia menatapku seolah aku berbuat jahat
padanya. Rasanya aku ingin meledak. Aku sudah tidak tahan dengan pengabaian Rex
atas pertanyaan besarku tentang ia dan Rafael. Hanya itu. Kalau saja ia mau memberi
kepastian kalau Rafael bukan anaknya, aku akan melupakan tentang dia yang
menghilang tanpa kabar selama satu tahun lebih. Aku juga akan memaafkan Rex
karena telah menggantung hubungan kami.
Kurang
baik apa aku ini, Rex?
Aku
mendorong Rex dengan sisa tenagaku malam ini. Aku sudah muak.
“Audy,
kamu percaya sama aku, kan?” Rex kembali mencoba menggenggam tanganku, tapi aku
melangkah mundur dan tidak mau menatap mata Rex.
“Audy,
aku─”
“Berhenti.”
Aku mengangkat wajahku. Memperlihatkan air mata yang tengah mengaliri pipiku. “Rex,
lebih baik kau kembali ke Jerman. Bawa Rafael dan jangan pernah kembali ke sini
lagi.”
“Audy..”
panggil Rex lirih.
“Jangan
datang sampai aku memperbolehkanmu kembali ke sini.”
Sejurus
kemudian Rex sudah memelukku dengan sangat erat. Ini pertama kalinya aku bisa
kembali mencium aroma tubuh Rex yang sesungguhnya. Bau peppermint yang teramat
sangat kurindukan. “Maaf sayang.”
Tangisku
pecah dalam pelukan Rex. “Aku tidak sekuat yang kau pikir, Rex. Dan Aku tidak
berubah. Tidak pernah.”
“Aku
tahu. Maaf.”
**
Aku
sudah resmi menjadi pegawai di kedutaan besar Inggris di Indonesia. Aku mem-posting fotoku sedang berdiri di depan
gedung tempatku bekerja. Dalam hitungan detik, sudah puluhan likes yang kudapat di akun instagramku. Selama
tiga bulan terakhir, aku sering pergi ke London bersama Romeo. Kali ini bukan
sebagai pengasuh Romeo, tapi karena ada tugas dari atasan. Aku dan Romeo sudah
semakin akrab. Aku tahu dia, dia tahu aku. Semacam itu lah hubungan kami
berdua.
“Au,
ada undangan nih.” Aku pun segera membuka surat beramplop merah yang diberikan
Romeo.
“Pameran?”
belum sempat aku membaca keseluruhan isinya, Romeo sudah merebut undangan itu.
“Emangnya
kamu suka liat pameran ya, Au?” tanya Romeo. Dahiku berkerut. “Wow! Jerman, Au!”
Jerman?
Satu
nama muncul dalam benakku.
**
Aku
memasuki sebuah gedung yang berdiri
kokoh di pusat kota Jerman. Dengan mantel bulu dan rok tiga perempat berwarna merah
muda, aku mencoba berbaur dengan bule-bule dalam ruangan yang dipenuhi dengan hasil
jepretan fotografer. Kupikir, aku akan melihat lukisan, tapi ternyata pameran
ini adalah gabungan dari foto dan seni rupa patung yang dikreasikan menjadi
sebuah cerita. Masing-masing blok memiliki tema tersendiri.
Aku
takjub dengan semua hasil jepretan-entah-milik-siapa yang terpampang di sini. Aku
pun beranjak ke lantai teratas, kupikir bisa menemukan orang yang mengirimiku
undangan. Aku meyakinkan diriku kalau orang itu pasti bukan Rex.
Tapi
hatiku menginginkan Rex yang melakukannya.
Aku
langsung mematung begitu sampai di lantai paling atas. Di sana hanya ada satu
ruangan yang pintunya terbuka. Jantungku berdegup dengan sangat cepat. Ini pasti
mimpi.
Hanya
satu sisi dari ruangan berdinding putih itu yang menampilkan sebuah karya. Hanya
satu, tapi seluruhnya dipenuhi dengan banyak sekali foto. Foto-foto itu
berjejeran memenuhi tembok dan sebagai pusat dari karya itu, ada sebuah tulisan
bertuliskan, “Her name is Audy”
Audy,
itu aku. Benar. Semua itu adalah foto yang aku posting di instagram selama hampir dua tahun. Aku bahkan tidak
ingat pernah mengambil foto dengan bibir manyun, atau foto sambil memegang lightstick di tengah-tengah kerumunan.
Aku
membalikkan tubuhku ketika pintu di belakangku berdecit. Rex.
Pipiku
memanas. Sepertinya akan ada hujan lebat di wajahku.
“Satu tahun lalu aku menemukan sebuah gallery. Aku belajar
dengan seseorang yang hebat di dunia fotografi. Namanya Regan. Semua yang kamu
lihat sejak memasuki gedung ini adalah hasil jepretanku.” Rex berjalan
mendekatiku dan mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tuxedo-nya.
Itu
kamera yang aku berikan untuk Rex sebagai kado kelulusannya.
“Aku
tahu Tuhan mengirimkanmu agar aku bisa melihat dunia. Lewat benda ini, aku
sudah melihat banyak hal yang dulu sering kamu ceritakan padaku. Tentang semua
tempat-tempat menakjubkan yang ada dalam travel
list-mu.”
“Rex,
coba katakan lagi.”
Rex
memelukku. “Regan tidak percaya pada cinta sejati. Wanita yang melahirkan
Rafael─anak mereka, meninggalkan Regan begitu saja. Lalu aku ingin membuktikan
kalau Regan salah. Akhirnya Regan menyuruhku membawa pulang Rafael ke
Indonesia, ia melarangku untuk memberitahumu kalau Rafael bukan anakku. Ini
sebuah misi, jika memang yang kukatakan benar, kau tidak akan memutuskan
hubungan kita walaupun aku kembali dengan seorang bayi yang mungkin saja adalah
anakku dengan wanita lain. Sebagai imbalannya, aku boleh mengadakan pameran
dengan pusatnya adalah kamu, Audy.”
Aku
membenamkan kepalaku di dada bidang Rex. Aku tahu ini bukan mimpi karena aroma peppermint yang kuhirup dari tubuh Rex.
“Thank you for loving me unconditionally,
Audy.”
Terima
kasih juga, Rex. Untuk setiamu dan untuk semua pengorbananmu. Aku rela
selamanya menjadi bodoh, asalkan aku bisa tetap mencintaimu.
END
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com