we born to be HAPPY - welcome! read and get some inspiration :)

Minggu, 04 Januari 2015

Her Name is Audy

[Diikutkan dalam kontes fanfic The Chronicles of Audy Penerbit Haru]


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Krekk!

                Seharian ini─ lebih tepatnya, selama dua minggu di bulan ini aku tidak punya banyak waktu untuk istirahat. Tidur berkualitas selama 6 sampai 8 jam sehari hanya mitos bagiku.

                “Au! Ngapain bengong disitu?” seorang anak bertubuh jangkung berjalan mendekatiku. Aku terkesiap dan nyaris jatuh ke kolam renang.

Aku menoleh dan melempar senyum sebal. “Nggak tahu orang lagi semedi?” aku kembali meRomeogkan pinggangku dan,

Kreekk!

Sial. Umpatku dalam hati begitu mendengar bunyi mengerikan dari persendianku. Lebih keras dari sebelumnya.

“Lama-lama bisa patah pinggang tuamu,” laki-laki itu menarik lenganku  secara paksa, membawaku pergi menjauh dari pinggiran kolam renang menuju beranda yang kerangkanya terbuat dari kayu. Aku hanya pasrah karena memang tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain mengiyakan ajakannya. Walaupun ajakan itu terkadang dalam bentuk tindakan. Mencubit pipi, mendorong punggung atau menarik lenganku seperti barusan. Semakin lama aku menghabiskan waktu dengan laki-laki ini, kelakuannya semakin menyebalkan!

Aku melihat hamparan air di depan kami. Aku pun melirik laki-laki disampingku yang masih betah mencengkram lengan atasku. “Aku nggak mau lari kesana,” tukasku. Angin sepoi-sepoi menerpa kulit wajahku dan memainkan helaian poni rataku. Memang benar aku bodoh bila melewatkan kesempatan sekali seumur hidupku untuk melihat sunset di pantai Maratua (dan mungkin aku akan menyesal bila benar-benar melewatkannya), tapi membayangkan ide-ide gila yang bisa laki-laki ini lakukan padaku saja, aku sudah mual. Lebih baik segera mendeklarasikan penolakan keras terhadap ajakannya melihat sunset! Aku memicingkan mataku, berusaha terlihat serius, “dan kali ini, aku nggak mau dipaksa sama bocah SMA!”

 Sudut kanan bibirnya terangkat, bulu kudukku ikut naik.

“Kalau digendong masih nggak mau, Au?” Tanya Romeo. Oke, namanya adalah Romeo. Barusan ia melontarkan kalimat itu dengan seringai, siapa yang tidak tergoda? Aku tidak. Aku malah merasa ngeri.

Aku berdehem, “Oke, tapi tidak ada Au-Au lagi, atau yang barusan kamu katakan.” Romeo lantas tersenyum lebar dan mengangguk cepat.

Biar kujelaskan, aku tidak sedang dalam rekreasi bersama keluarga atau pacar, melainkan sedang bekerja. Mungkin terdengar aneh karena aku sendiri sempat bingung ketika mendapatkan tugas kerja ini. Romeo, cowok yang baru tamat SMA itu adalah putra ketiga dari duta besar Inggris di Indonesia. Romeo baru tiga bulan tinggal di Indonesia, tetapi dia sudah menguasai bahasa Indonesia. Andai saja tidak, aku bisa dengan leluasa mengumpatnya tanpa ampun!

  Romeo adalah seorang jenius yang bisa melakukan apa pun dengan tampang bulenya. Buktinya, sekarang dia tengah mengobrol-sangat-asyik dengan gadis asli pulau ini. Romeo sama sekali tidak melibatkan aku dalam diskusi itu dan meninggalkan aku di tepi pantai begitu saja. Aku merutuki diriku sendiri karena mengiyakan ajakan Romeo untuk melihat sunset.

Sunset gundulmu!

  Aku menghela napas dan mulai melipat lengan kemeja putihku. Melihat pasir putih yang kupijak saat ini membuat suasana hatiku sedikit membaik. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mencium ‘bau’ pantai. Setidaknya, aku harus bisa bersenang-senang alih-alih hanya menunggu Romeo merayu seorang wanita. Tanpa aba-aba, aku sudah berlari menuju pantai. Kakiku bergerak cepat menerjang ombak kecil yang datang menghampiri. Layaknya balita, aku juga berteriak kecil ketika ombak berikutnya menerjangku dan membuat celana jinsku basah.

“Auuu!”

Aku pura-pura tidak mendengar Romeo yang memanggilku dari tempat dimana ia meninggalkanku tadi. Aku memungut sebuah batu yang berbentuk bintang dan sedang mengamatinya ketika ada ombak besar tiba-tiba datang. Aku pun terseret dan tumbang di pantai. Sekarang sudah pasti kemeja putih polosku tidak tertolong lagi. Aku masih dalam posisi duduk dan mataku kemasukan air atau mungkin pasir. Sebuah tangan menarikku dan menopang tubuhku untuk bangkit.

Jari-jari Romeo menyentuh pipiku, “Kamu nggak apa-apa, Au?” tanyanya. Aku masih belum bisa membuka mata, aku hanya menganggukkan kepalaku pelan. “Bajumu basah Au,” katanya. Tanpa pernyataan itu, aku pun sudah tahu kalau bajuku basah. Dasar bocah!

Selanjutnya, setelah Romeo memastikan tidak ada lagi pasir di wajahku, aku pun membuka mataku. Orang pertama yang kulihat, tentu saja Romeo dan─ tunggu, kenapa gadis pulau itu berdiri di depan kami sambil membawa kamera milik Romeo?

“Sekarang sudah bisa ambil foto kami,” kata Romeo pada gadis berkulit hitam itu. Gadis itu mengangguk-angguk dan bersiap mengambil foto kami. Tunggu! Apa?!

“Foto apa?” tanyaku, Romeo hanya tersenyum. Aku menatap Romeo dan gadis itu secara bergantian. “Jangan bercanda! Penampilanku sama sekali tidak menarik untuk difoto!” teriakku frustasi. Kenapa mengambil foto ketika aku sedang dalam keadaan jelek seperti ini? Kenapa tidak tadi pagi ketika berkunjung ke pulau Derawan saja?! Atau, kenapa ia tidak mengambil foto siang tadi saat aku sedang menggendong kura-kura di pesisir pantai?! Sial. Aku benar-benar tidak bisa membaca pikiran bocah ini.

“Bawel banget sih,” Romeo memegang bahuku dengan kedua tangannya dan memposisikan tubuhku menghadap tepat di depan kamera. Lagi-lagi aku tidak bisa berkutik karena terlalu sebal. “Ini momen terakhir sebelum balik ke Jakarta.” Tambah Romeo.

Sisanya, aku dan Romeo hanya duduk santai di pasir sambil melihat tenggelamnya matahari. Benar kata Romeo, sekarang adalah malam terakhirku di pulau kecil yang terletak di Sulawesi ini. Memang pekerjaanku hanya menjaga Romeo selama berlibur di Indonesia, tetapi banyak hal baru yang kudapatkan. Melalui Romeo, aku jadi banyak tahu soal pulau-pulau kecil di Indonesia yang belum terekspos. Seperti pulau Maratua ini. Such a paradise!

Baiklah, Romeo pantas mendapatkan ucapan terima kasihku.

“Au, kepiting!”

Sontak aku menjerit ketika seekor kepiting tiba-tiba mendarat tepat di pangkuanku. “Romeoooo!”

Romeo tertawa penuh kemenangan melihatku bersusah payah menyingkirkan kepiting itu dari tubuhku.

Aku lebih baik mati daripada harus berterima kasih pada Romeo!

**

Setelah mendarat dengan selamat di Jakarta satu minggu yang lalu, aku langsung meluncur ke apartemen kecilku di Bandung. Tanpa Romeo tentunya.

Satu minggu pertama kuhabiskan dengan berdiam diri di apartemen. Makan, mandi, menonton film, tidur. Aku masih memiliki dua minggu sebelum kembali ke Jakarta. Setelah lulus dari Universitas Gadjah Mada dua tahun yang lalu, aku masih belum memiliki pekerjaan tetap. Tempatku magang juga berpindah-pindah. Tempat magang terakhirku adalah di Departemen Luar Negeri. Selama dua bulan aku berada di sana, sampai akhirnya aku dipindahkan ke kedutaan besar Inggris. Itu pun masih ‘magang’.

Aku menghela napas sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjukku pada layar ponselku. Mungkin alasanku tidak bisa serius bekerja adalah karena orang ini. Tatapanku kosong melihat wajah yang terpampang di layar ponselku.

Namanya Rex. Laki-laki tampan tanpa poni, mengenakan kemeja biru dongker, jam tangan kulit melingkar di pergelangan kirinya dalam foto itu. Dan ia tersenyum.

Dia kekasihku. Ya, setidaknya aku masih menganggapnya begitu. Sudah satu tahun lebih aku tidak melihat Rex. Terakhir kali kami bertemu, janggutnya sudah mulai tumbuh di dagunya. Oh, God, aku sangat merindukan setiap detail tentangnya, tentang laki-laki yang usianya lebih muda dariku itu.

“Hmm,” aku memejamkan mataku. Berusaha keras mengusir perasaan rindu yang tak terbalas. Aku tahu Rex pergi ke Jerman bukan untuk menjauhiku, apalagi untuk mencari wanita lain. Dia pergi karena mendapat beasiswa kuliah arsitek di sana. Memikirkan apa saja yang Rex lakukan selain mengejar cita-citanya itu membuatku sangat frustasi. Bisa saja gadis-gadis disana menggoda Rex, atau malah Rex sudah bosan denganku, lalu mulai mengencani gadis Jerman?    

Tiba-tiba wajah polos Romeo muncul. Great. Apa aku harus memacari laki-laki Inggris itu? Terlepas dari sifatnya yang menjengkelkan, tampangnya sangat oke dan… dia kaya. Mungkin sangat kaya sampai-sampai menyuruh ayahnya untuk menyewaku sebagai tour guide-nya. Aku mikir apa sih!!

Aku langsung tersadar kalau berpacaran dengan Romeo berarti aku tidak akan pernah bisa hidup dengan tenang. Aku bertaruh kalau dia punya dendam pada seseorang di sekolahnya, lalu habis-habisan melampiaskannya padaku. Sudah ratusan kali aku menyesali keputusan bodohku. Saat itu aku sedang sangat malas mengerjakan jurnal-jurnal dan langsung mengiyakan tawaran untuk menjadi pendamping Romeo selama liburan, karena kupikir aku tidak benar-benar harus menemani Romeo (karena Romeo sudah 18 tahun dan pastinya bisa menjaga diri) dan dengan begitu aku bisa liburan tanpa harus membuat satu pun jurnal.

Aku tersenyum hambar. Bahkan laki-laki setampan dan sekaya Romeo tidak bisa menggantikan Rex yang sudah lama bertengger dihatiku. Aku pasti sudah gila karena masih berharap Rex datang, walaupun hanya dalam mimpiku.

Drrrrt…drrrttt..

“Ha─”

“Audy”
Jantungku serasa jatuh ke tanah. Hanya dengan “Audy”-nya, aku bisa langsung tahu siapa yang meneleponku. Tanpa terasa, ujung mataku sudah basah.

Aku masih diam sampai akhirnya suara berat itu kembali memasuki gendang telingaku. “Kok diem? Aku di luar nih. Bukain pintu dong.”

Mulutku menganga seketika. Ponselku nyaris lepas dari genggamanku.

“Audy?”

Aku langsung loncat dari ranjangku dan berlari ke pintu masuk. Saking gugupnya, sampai-sampai tanganku dingin dan gemetar. Aku tidak sedang berhalusinasi, kan?

Tepat setelah aku membuka pintu apartemenku, aku melihat laki-laki berparas pangeran yang fotonya kujadikan wallpaper ponselku. Ia berdiri sambil menenteng tas dan─ seorang bayi?

Aku buru-buru mengerjapkan mataku. Aku melihat Rex─ pacarku menggendong bayi?!

Aku mematung cukup lama di sana. Tatapanku dibalas dengan senyuman Rex dan suara dengkuran bayi yang tengah terlelap itu. Sudah pasti ini halusinasi. Iya, pasti begitu. Detik berikutnya aku mendorong daun pintu itu, bermaksud untuk menutup kembali pintu itu, tapi kaki Rex menghalanginya. Dengan tangan kanannya, Rex membuka lebar pintu apartemenku dan beranjak masuk ke dalamnya.

Rex melewatiku begitu saja. Aroma tubuhnya terasa asing. Aku hampir saja pingsan di tempat kalau Rex tidak memanggil namaku, “Audy, banyak debu. Kamu sibuk kerja, ya?”

Aku membalikkan tubuhku dan mendapati Rex sedang menidurkan bayi itu di sofa. Aku berjalan mendekatinya, tanpa suara. Memang ini yang kuinginkan. Rex tiba-tiba datang tanpa kuminta, tapi aku merasa ganjil. Seharusnya Rex memelukku dan memberiku bunga atau semacamnya sebagai kejutan, tapi ia malah membawa entah-bayi-siapa dan mengabaikan keberadaanku. Bahkan Rex lebih mengkhawatirkan apartemenku yang berdebu ketimbang aku yang ia tinggalkan selama satu tahun lebih!

Tubuhku seperti tak bertulang melihat Rex mengelus-elus kepala bayi itu. Tatapan Rex begitu teduh dan penuh cinta.

“Rex, katakan padaku kalau dia bukan anakmu.”

Rex mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. “Rex,” aku memanggilnya lagi. Aku masih berdiri di tempat, tidak bergerak satu senti pun. Tidak sampai Rex menjawab pertanyaanku.

“Rex…” kali ini nadaku terdengar memohon.

Nihil. Senyum Rex mulai memudar, digantikan dengan wajah tanpa dosanya sambil berkata, “Tolong jagain Rafael, ya, Audy.”

 Setelah itu duniaku gelap. Sangat gelap.

**

“Romeo! Jangan gigitin jarinya Rafael!” aku sangat gemas melihat tingkah Romeo yang lebih kekanakan dari seorang bayi. Aku tidak menyangka kalau Romeo masih tinggal di Indonesia dan enggan buru-buru balik ke Inggris untuk melanjutkan sekolahnya. Akhirnya aku harus kembali bertemu dengan otak jail itu. Yang lebih menyebalkan, selain Romeo dan jurnal-jurnalku, aku harus mengurus Rafael. Bayi berumur 2 tahun yang dibawa oleh pacarku, Rex. Mungkin aku sudah membuat keputusan bodoh lainnya dengan mengiyakan permintaan Rex untuk menjaga bayi ini selama Rex membuat tugas akhir semesternya. Anehnya, aku sama sekali tidak keberatan. Mungkin aku sudah benar-benar gila. Entah karena Romeo atau karena rindu setengah matiku pada Rex. Yang jelas aku masih belum tahu siapa orangtua Rafael dan kenapa Rex mau repot-repot membawanya kemari.

“Rafael pasti bukan anak kamu kan, Au?”

“Memangnya kenapa?”

Romeo menatapku, lalu menatap Rafael yang sedang bermain dengan syal rajutku. Dahinya berkerut, “soalnya muka Rafael bule banget, kalo kamu─” aku melempar buku setebal novel Twilight ke arah wajah Romeo, ia berhasil menangkasnya dengan cepat. Dan sambil tertawa. Aku kembali menenggelamkan diri ke tugas yang sore ini sudah harus selesai. Adanya Romeo memang banyak membantuku. Ia dengan senang hati mau mengajak bicara bayi yang belum bisa bicara dan sesekali mau mengganti popok Rafael.

Hari sudah sangat larut, aku tidak mungkin naik taksi sambil menggendong Rafael. Terlalu berisiko. Akhirnya aku meminta Romeo mengantarku pulang ke kos. Biasanya hanya perlu waktu sepuluh menit, tapi bukan Romeo kalau ia tidak mengulur-ulur waktu untuk menggangguku.

“Apa yang kamu rasakan?” tanya Romeo tepat saat mobil berhenti di lampu merah. Aku meliriknya, lalu membuang muka ke jalanan yang terlihat sedikit ramai. “Should I ask you in English, Au?”

Tatapanku menerawang jauh ke jalanan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Aku belum tahu hubungan apa yang dimiliki Rex dengan Rafael. Rex kembali seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dan seperti boneka, aku sama sekali tidak merasakan sakit. Aku hanya bahagia karena Rex sudah kembali. Setidaknya, dia masih mengingatku. Tapi apa aku sebodoh itu? Perempuan mana yang tidak curiga dengan pacarnya yang pulang dari luar negeri membawa seorang bayi?

Kupikir aku tidak bodoh, hanya kelewat bodoh.

Kami akhirnya sampai di kos pukul 11 malam. Aku sudah melarang Romeo membantuku menggendong Rafael, tapi ia bersikeras ingin membantu karena barang bawaanku sangat banyak, sekaligus ia ingin melihat tempat tinggalku.

“Lima menit saja, oke?” Romeo tidak mengindahkan perkataanku dan langsung masuk ke dalam kos begitu aku membuka pintu. Masih seperti pagi tadi ketika aku pergi ke kantor, baju-baju bayi berserakan di atas sofa. Aku sampai lupa membereskan laptop dan buku-buku tebalku saking sibuknya mengurus Rafael semalam. Aku menyingkirkan dua tas besar di atas kursi kayu agar Romeo dapat ruang untuk duduk. “Cepat taruh Rafael di kasur dan pergi dari sini.” Omelku melihat Romeo yang malah asyik melihat-lihat ruangan berantakan ini sambil menggendong Rafael.  

“Mana ayah Rafael? Dia nggak tinggal di sini?”

 Kalau Romeo tidak sedang menggendong bayi, mungkin tas ditanganku sudah melayang ke wajahnya. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar, “sudah kubilang Rex itu pacarku, bukan ayah Rafael!”

“Lalu kenapa dia bawa anak ke sini?”

Skak mat.

“Audy,” aku menoleh dan melihat Rex sedang berdiri di ambang pintu kosku. “Siapa dia?” tanya Rex dengan tatapan tidak senang.

“Teman,” jawabku. Aku segera mengambil alih Rafael dari Romeo dan berdiri di sampingnya. “Nanti kuceritakan.” Tambahku.

Rex masih memandang Romeo, begitu juga Romeo. Akhirnya tanpa sepatah kata, Romeo bersedia pergi dan meninggalkan kami berdua. Tepatnya bertiga, dengan Rafael yang sudahh terlelap di kasur empukku.

“Kamu berubah, Audy.” Kata Rex membuka percakapan. “dan aku tidak suka itu.”

“Bukankah ada yang lebih penting dari ini, Rex?” kataku balik bertanya. Bermaksud memojokkan Rex. Rex mendekatiku dan meraih tanganku. Ia menatapku seolah aku berbuat jahat padanya. Rasanya aku ingin meledak. Aku sudah tidak tahan dengan pengabaian Rex atas pertanyaan besarku tentang ia dan Rafael. Hanya itu. Kalau saja ia mau memberi kepastian kalau Rafael bukan anaknya, aku akan melupakan tentang dia yang menghilang tanpa kabar selama satu tahun lebih. Aku juga akan memaafkan Rex karena telah menggantung hubungan kami.

Kurang baik apa aku ini, Rex?

Aku mendorong Rex dengan sisa tenagaku malam ini. Aku sudah muak.

“Audy, kamu percaya sama aku, kan?” Rex kembali mencoba menggenggam tanganku, tapi aku melangkah mundur dan tidak mau menatap mata Rex.

“Audy, aku─”

“Berhenti.” Aku mengangkat wajahku. Memperlihatkan air mata yang tengah mengaliri pipiku. “Rex, lebih baik kau kembali ke Jerman. Bawa Rafael dan jangan pernah kembali ke sini lagi.”

“Audy..” panggil Rex lirih.

“Jangan datang sampai aku memperbolehkanmu kembali ke sini.”

Sejurus kemudian Rex sudah memelukku dengan sangat erat. Ini pertama kalinya aku bisa kembali mencium aroma tubuh Rex yang sesungguhnya. Bau peppermint  yang teramat sangat kurindukan. “Maaf sayang.”

Tangisku pecah dalam pelukan Rex. “Aku tidak sekuat yang kau pikir, Rex. Dan Aku tidak berubah. Tidak pernah.”

“Aku tahu. Maaf.”

**

Aku sudah resmi menjadi pegawai di kedutaan besar Inggris di Indonesia. Aku mem-posting fotoku sedang berdiri di depan gedung tempatku bekerja. Dalam hitungan detik, sudah puluhan likes yang kudapat di akun instagramku. Selama tiga bulan terakhir, aku sering pergi ke London bersama Romeo. Kali ini bukan sebagai pengasuh Romeo, tapi karena ada tugas dari atasan. Aku dan Romeo sudah semakin akrab. Aku tahu dia, dia tahu aku. Semacam itu lah hubungan kami berdua.

“Au, ada undangan nih.” Aku pun segera membuka surat beramplop merah yang diberikan Romeo.

“Pameran?” belum sempat aku membaca keseluruhan isinya, Romeo sudah merebut undangan itu.

“Emangnya kamu suka liat pameran ya, Au?” tanya Romeo. Dahiku berkerut. “Wow! Jerman, Au!”

Jerman?

Satu nama muncul dalam benakku.

**

Aku memasuki sebuah gedung yang berdiri kokoh di pusat kota Jerman. Dengan mantel bulu dan rok tiga perempat berwarna merah muda, aku mencoba berbaur dengan bule-bule dalam ruangan yang dipenuhi dengan hasil jepretan fotografer. Kupikir, aku akan melihat lukisan, tapi ternyata pameran ini adalah gabungan dari foto dan seni rupa patung yang dikreasikan menjadi sebuah cerita. Masing-masing blok memiliki tema tersendiri.

Aku takjub dengan semua hasil jepretan-entah-milik-siapa yang terpampang di sini. Aku pun beranjak ke lantai teratas, kupikir bisa menemukan orang yang mengirimiku undangan. Aku meyakinkan diriku kalau orang itu pasti bukan Rex.

Tapi hatiku menginginkan Rex yang melakukannya.

Aku langsung mematung begitu sampai di lantai paling atas. Di sana hanya ada satu ruangan yang pintunya terbuka. Jantungku berdegup dengan sangat cepat. Ini pasti mimpi.

Hanya satu sisi dari ruangan berdinding putih itu yang menampilkan sebuah karya. Hanya satu, tapi seluruhnya dipenuhi dengan banyak sekali foto. Foto-foto itu berjejeran memenuhi tembok dan sebagai pusat dari karya itu, ada sebuah tulisan bertuliskan, “Her name is Audy”

Audy, itu aku. Benar. Semua itu adalah foto yang aku posting di instagram selama hampir dua tahun. Aku bahkan tidak ingat pernah mengambil foto dengan bibir manyun, atau foto sambil memegang lightstick di tengah-tengah kerumunan.

Aku membalikkan tubuhku ketika pintu di belakangku berdecit. Rex.

Pipiku memanas. Sepertinya akan ada hujan lebat di wajahku.

“Satu tahun lalu aku menemukan sebuah gallery. Aku belajar dengan seseorang yang hebat di dunia fotografi. Namanya Regan. Semua yang kamu lihat sejak memasuki gedung ini adalah hasil jepretanku.” Rex berjalan mendekatiku dan mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tuxedo-nya.

Itu kamera yang aku berikan untuk Rex sebagai kado kelulusannya.

“Aku tahu Tuhan mengirimkanmu agar aku bisa melihat dunia. Lewat benda ini, aku sudah melihat banyak hal yang dulu sering kamu ceritakan padaku. Tentang semua tempat-tempat menakjubkan yang ada dalam travel list-mu.”

“Rex, coba katakan lagi.”

Rex memelukku. “Regan tidak percaya pada cinta sejati. Wanita yang melahirkan Rafael─anak mereka, meninggalkan Regan begitu saja. Lalu aku ingin membuktikan kalau Regan salah. Akhirnya Regan menyuruhku membawa pulang Rafael ke Indonesia, ia melarangku untuk memberitahumu kalau Rafael bukan anakku. Ini sebuah misi, jika memang yang kukatakan benar, kau tidak akan memutuskan hubungan kita walaupun aku kembali dengan seorang bayi yang mungkin saja adalah anakku dengan wanita lain. Sebagai imbalannya, aku boleh mengadakan pameran dengan pusatnya adalah kamu, Audy.”

Aku membenamkan kepalaku di dada bidang Rex. Aku tahu ini bukan mimpi karena aroma peppermint yang kuhirup dari tubuh Rex.

Thank you for loving me unconditionally, Audy.”

Terima kasih juga, Rex. Untuk setiamu dan untuk semua pengorbananmu. Aku rela selamanya menjadi bodoh, asalkan aku bisa tetap mencintaimu.


END

1 komentar:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    BalasHapus

think before comment (: