Short
story by Aldilanita Safira
Kota Kecil Kebanggaan
“Hal yang luar
biasa kadang bukan sesuatu yang besar, bahkan sering terlewatkan.”
Aku
berdiri kaku menghadap cermin besar di kamar hotel tempatku menginap. Pikiranku
mulai berimajinasi liar seketika aku membayangkan buket bunga yang akan aku
terima nanti pada acara malam penghargaan bagi para pemuda-pemudi yang telah berhasil
menyuarakan kota asal mereka ke luar daerah, bahkan hingga mancanegara, sebagai
kota yang unik akan budayanya. Tentu, tidak mudah meraih prestasi membanggakan
itu. Kulirik jepitan rambut berbentuk bunga jepun yang menghiasi rambut
sebahuku. Benar, laki-laki itulah sumber kekuatanku. Berkat rasa ingin tahu dan
semua dukungannya, aku bisa meraih sesuatu yang bahkan tidak pernah terlintas
dalam pikiranku sebelumnya.
“Nit,
udah siap? Pak Tono nungguin di mobil, tuh.” Seru Talita yang tiba-tiba masuk
ke dalam kamar.
“Oh,
ya! Sebentar lagi aku keluar.” Balasku. Aku kembali menatap pantulan wajahku di
cermin. Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Lalu kutarik
sudut bibirku ke atas, membentuk senyuman kecil. Apa kau sudah siap, Anita?
Sunday,
16 June 2011.
What time is it now, Nit???
Ya, selalu
kalimat tanya itu yang akan mengakhiri obrolan panjangku dengan Danee, temanku
yang berada jauh di belahan dunia sana. Balasanku pun selalu sama,
Okay, give up!
I’ll sleep now. See you again. :)
Kami, aku dan
Danee, sudah sering menghabiskan malam bersama di depan layar komputer untuk
bertukar ide, pengalaman, dan pendapat. Tidak jarang pula kami bertukar
informasi tentang kehidupan pribadi masing-masing. Contohnya saja, dimana aku
tinggal, dimana Danee sekolah, dimana aku sering menghabiskan liburan, dan
banyak hal lainnya.
Pertemuan kami
di dunia maya bisa dibilang aneh. Saat itu aku sedang berkunjung ke sebuah
situs web dimana pengumuman pemenang Festival Film Alam Nasional 2011 akan
ditampilkan. Dan, timku menang. Film berdurasi 15 menit yang aku sutradarai
berhasil menjadi jawara di festival film bergengsi di kalangan pelajar sampai
mahasiswa itu. Dan tak berselang lama, ketika rasa senang bercampur haru masih
memenuhi benakku, aku mendapat satu pesan di akun twitterku. Kalimatnya
singkat. Sampai sekarang aku masih ingat pujian pertama dari Danee untukku.
What an awesome
movie! You’ve done it very well.
Aku tercengang
membaca komentar bule itu. Aku tidak menambahkan subtitle dengan bahasa inggris pada film pendekku. Jadi, apa yang
bisa dimengerti oleh bule itu ketika menyaksikan film dokumenter dengan narasi
berbahasa indonesia?
Setelah
bercakap-cakap cukup lama, akhirnya Danee membocorkan identitasnya padaku. Dia adalah
keponakan dari seseorang yang merupakan founder
festival film ini. Seluruh anggota keluarganya tinggal di New Jersey, USA,
kecuali pamannya yang lebih memilih untuk hidup dan meneruskan karirnya di
Indonesia.
Semalaman aku
terus memutar ulang film karya timku dengan tujuan mencari maksud dari
perkataan Danee padaku sebelum ia memutuskan untuk offline.
Kamu dan timmu berhasil mendokumentasikan sesuatu
yang indah, yang mungkin hanya ada di daerah dimana kalian tinggal. Wonosobo?
Aku sering berkunjung ke negaramu, tetapi aku tidak tahu ada kota dengan nama
rumit itu. Jadi, yang membuat kalian menang adalah kalian telah berhasil
mengekspos sesuatu yang belum atau jarang dilihat orang lain, mengerti?
Begitulah
kiranya perkataan Danee bila kuterjemahkan ke dalam bahasa indonesia. Selama
ini aku tidak pernah mempunyai gagasan yang sama dengan Danee. Yang aku incar,
sebagai sutradara, hanyalah mencari objek yang menarik dan bagaimana caranya
mendokumentasikan itu dengan seunik mungkin. Aku salut dengan Danee. Dia
membuka mataku akan keindahan alam yang mungkin hanya kota kami yang memilikinya
dan bagaimana caranya mengenalkannya pada dunia.
**
Mulai dari
makanan, minuman, hingga cemilan ringan khas dari daerahku. Setiap hari Danee
tidak pernah absen menanyakan hal-hal kecil semacam itu padaku. Aku sendiri
tidak mau kalah cerewetnya dengan Danee. Aku selalu ingin tahu seperti apa
negara-negara yang pernah masuk dalam list
liburannya.
Jepang, Italia,
Inggris, Perancis, Kanada, Australia, dan Cina. Mulutku menganga membayangkan
berapa banyak uang yang telah ia habiskan untuk pergi liburan ke negara-negara penuh
pesona itu. Keindahan setiap negara yang sudah pernah ia kunjungi tak luput
dari ceritanya. Danee menyimpulkan bahwa setiap negara itu unik dengan
masing-masing budayanya. Lalu sebuah pernyataan dari Danee kembali terlontar
secara ajaibnya.
I’ll visit you
next year. So, are you ready to show me some awesome place?
**
Hari ini aku
meninggalkan rumah pagi-pagi sekali untuk mengikuti event menanam pohon di kawasan telaga Menjer. Aku dan teman-temanku
berkumpul di alun-alun yang berada di pusat kota sebelum menuju ke telaga
Menjer.
Terlihat
kerumunan orang di sekitar alun-alun. Banyak pedagang yang menjual dagangannya
dengan harga murah meriah. Selain itu, tentu saja banyak sekali orang-orang,
mulai dari kanak-kanak hingga dewasa yang tengah menikmati apa yang sering
disebut dengan sunday morning.
Aku sudah
berdiri di depan SMP 1 Wonosobo yang berada tepat di sebelah barat alun-alun
selama hampir satu jam. Selalu begini. Aku kembali ditelantarkan oleh
teman-temanku yang notabenenya suka
ingkar janji, atau bisa dibilang selalu tidak tepat waktu. Tiba-tiba mataku
menangkap penjual gorengan. Sejurus kemudian aku sudah menghampiri penjual itu
dan langsung melahap satu tempe kemul yang masih panas. Wonosobo punya banyak
sekali makanan enak, murah, unik, dan membuat ketagihan. Seperti makanan satu
ini yang sudah sampai di pencernaanku.
**
Aku mengusap
peluh dikeningku dengan sapu tangan yang sudah basah. Aku menggulung sapu
tangan itu, lalu kuperas kuat-kuat.
“Jorok. Pakai
ini aja.” Kata Dimas dengan gemas seraya menyodorkan gulungan tisu padaku.
“Thanks” kataku sambil nyengir.
“Menurut kamu,
telaga ini bisa jadi objek wisata unggulan nggak di Wonosobo?” Tanya Dimas
sambil ikut berbaring di hamparan rumput hijau segar. Aku memandang jauh ke
arah perahu yang tengah melayang di atas telaga.
“Kurasa bisa,
tapi kemungkinannya kecil.” Kataku. Dimas tak menjawab, tanda tak mengerti. Aku
pun melanjutkan argumenku yang menggantung, “daripada ke Menjer, orang awam
pasti lebih memprioritaskan berwisata ke Dieng, kan? Orang asli Wonosobo saja banyak
yang enggan berkunjung kesini karena pemandangannya sebatas genangan air, iya
kan?”
“Benar sih, tapi
kenapa kita tidak mengupayakan agar Menjer layak masuk ke daftar objek wisata
menarik?”
“Dimas,
pemandangan indah dan menarik ada banyak sekali di Wonosobo.” Kataku sedikit
geli, “perkebunan teh, sikunir..”
“Iya bawel! Yuk
gabung sama anak-anak.” Ajak Dimas. Aku mengerucutkan bibirku kesal, lalu ikut
beranjak pergi dari tempat teduh tadi.
“Dim, kita
selesain program penghijauan ini aja dulu, baru kita bisa ajuin proposal ke pariwisata Wonosobo buat menggali lebih dalam potensi
telaga Menjer. Gimana?”
“Pinter” kata
Dimas sambil mengacak-acak poni basahku, “lagian disini seger, adem. Enak buat
santai, buat foto nikahan juga boleh tuh.”
“Hahahaha, bisa bisa.”
**
Malam ini aku
datang sedikit terlambat. Ternyata Danee sudah tidak sabar menunggu balasan
dariku, sampai-sampai mention dan dm twitterku sudah penuh akan namanya.
Wait. I have
something for you.
Aku mengirimkan
tiga buah foto hasil jepretanku pagi tadi saat mengunjungi perkebunan carica di
Dieng. Sudah bisa kutebak kalau Danee akan menyukai foto-foto tadi. Danee
adalah seorang pecinta alam, sama sepertiku. Hal inilah yang kurasa menjadi
faktor utama keakraban kami selama hampir lima bulan ini.
I'll visit you
for real!
Aku tersenyum
geli membaca kalimat itu. Danee tidak pernah tidak serius dengan apa yang dia
katakan. Contohnya saja ketika dia sedang berlibur ke Perancis. Aku merengek
meminta dibelikan sesuatu oleh Danee, berhubung dia sedang berada di negara fashion terkenal itu. Dia sendiri tidak
ambil pusing, malam harinya Danee mengirimkan aku sebuah foto yang sempat
membuatku senang sampai melompat-lompat di atas ranjang. Di foto itu, Danee
dengan wajah tampan dan potongan rambut mirip Liam One Direction itu sedang
berdiri sambil membawa satu potong dress
berwarna soft pink dengan tempelan
kristal-kristal di bagian bahu kanan.
Jadi, aku
bertaruh kalau Danee benar-benar akan datang menemuiku. Di kota kecil penuh
kesejukan ini. Dan aku.. Aku akan membuat Danee tidak menyesali keputusannya
itu.
**
Seminggu
terakhir ini aku disibukkan dengan rutinitas baruku, yaitu survey lapangan.
Begitu bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung tancap gas menuju objek-objek
wisata yang sudah menjadi sasaranku sebelumnya. Demi apa? Demi mendapatkan
sebanyak mungkin informasi akurat dari setiap objek wisata di Wonosobo.
“Gila Dim, aku
nyaris lupa sama deadline tugas
fisika!” keluhku pada Dimas. Teman satu kelasku itu memang selalu menjadi sasaran
empuk ketika aku mulai lelah dengan segala rutinitas.
Dimas menarik
pipiku kuat-kuat, seraya berkata, “makanya nurut sama aku. Kalo mau pergi, biar
aku yang antar jemput. Jadi kan kamu nggak kecapekan.” Kata Dimas gemas. Petuahnya
itu sudah sering kudengar, tapi tidak pernah kuindahkan walau pun hanya sekali.
Mau bagaimana lagi, aku tak mungkin terus meminta bantuan Dimas. Sudah
mengingatkanku pada tugas-tugas sekolah saja itu lebih dari cukup untukku. Aku
tak mau meminta bonus.
“Kamu mau ikut audisi
duta wisata Wonosobo?” tanya Dimas. Aku menggeleng cepat. “kenapa segitu
minatnya sama objek wisata disini? Well,
kita ini kan cuma anggota pecinta alam. Apa perlu segitu terikatnya sama objek
wisata bertajuk alam?” aku menggeleng lagi. kedua pipi Dimas menggembung
bersamaan. Aku tertawa melihat ekspresi kesalnya. Aku tahu aku menyebalkan,
tapi ini adalah misiku seorang. Suatu
saat pasti akan aku ceritakan, Dim, batinku.
**
Saturday, August 18th 2012
Yogyakarta. Aku
menikmati setiap menit yang aku habiskan di kota gudeg yang selalu ramai
disetiap sudutnya. Nekat. Itu kata paling tepat untuk gadis dibawah umur
sepertiku yang berani bolos sekolah hanya untuk menjemput seseorang yang bahkan
belum pernah ditemui. Modalku hanyalah uang tabungan selama lima bulan dan juga
izin dari orang tua yang amat teramat sulit didapatkan.
Danee Liem. Begitu tulisan yang terpampang di lembaran
pertama block note ku. Aku tengah
duduk di bawah pohon besar di alun-alun Kidul yang saat ini sedang ramai akan
pengunjung. Tanganku kembali menuliskan beberapa kalimat di lembaran kosong. Aku
berpikir, apabila nanti secara tiba-tiba, disengaja atau pun tidak, dan bila
itu mendesak, aku akan menunjukkan catatan ini pada bule bernama Danee. Ya,
Danee. Teman ngobrolku di dunia maya itu sebentar lagi akan muncul di depan
mataku. Kali ini tidak secara ajaib tentunya. Beberapa hari sebelum datang ke
Jogja, Danee tinggal di apartemen pamannya yang berada di seberang pulau Jawa,
Bali. Aku sempat kalut karena awalnya Danee memintaku untuk menjemputnya di Bandara
Adi Sucipto. Itu sangat tidak mungkin. Kalian tahu lah, aku ini anak desa yang
baru pertama kali pergi ke luar kota sendirian. Jadi, bisa sampai di Jogja
dengan selamat saja aku sudah sangat bersyukur. Danee pun memakluminya dan bersedia
untuk mendatangiku di tempat janjian kita, alun-alun Kidul Yogyakarta.
**
Tinggi, putih
bersih tanpa noda di wajah, mata sedikit sipit, dan bahunya terlihat kuat dan
begitu tegap. Aah.. bagaimana aku harus menggambarkan sosok Danee yang baru
beberapa menit aku temui secara langsung? Nyaris sempurna, ya, itu saja
kesimpulanku.
“Again, you didn't say anything and just
staring at me with those eyes.” Raut wajah Danee begitu unik ketika sedang
kebingungan. Uhm, mungkin karena ini kali pertamanya aku jalan berdua dengan
seorang bule, jadi tanpa disuruh, mataku dengan pintarnya sudah menatap
lekat-lekat sosok di depanku ini.
“I told you not to moving on, I will take
your picture now.” Klik.
Aku berjalan
mengelilingi alun-alun Kidul bersama Danee. Danee sangat tertarik dengan
bangunan keraton yang letaknya tak jauh dari tempat kami berdiri. Dengan
kemampuan berbicara bahasa inggrisku yang amburadul, sedikit demi sedikit aku
memandu Danee berwisata di Jogja. Sembari kami menikmati langit sore, aku
menjajakan uang tabunganku untuk membelikan Danee jajanan murah yang dijual di
sekitar alun-alun.
**
Sekitar pukul 3
pagi, aku dan Danee check out dari
penginapan kecil yang berada di jalan Kaliurang, Jogja. Danee menyewa mobil
sedan kemarin malam, jadi aku tidak perlu membayar ongkos untuk perjalanan kami
yang cukup jauh menuju Candi Borobudur.
“Here you are.” Kataku seraya menyodorkan
segelas wedang jahe panas pada Danee. Ia nampak tidak sabar menunggu sunrise pertamanya di Indonesia. Aku pun
begitu. Ini pertama kalinya aku menyaksikan
sunrise selain di puncak sikunir dan gunung prau. Udara dingin pagi di
Candi Borobudur tidak sebanding dengan udara pagi di Wonosobo, pikirku.
Selama dua jam,
aku dan Danee dipandu oleh seorang pemandu wisata di Candi Borobudur. Danee
nampak antusias dengan sejarah dan seluk beluk tentang candi Budha itu. Setelah
matahari mulai meninggi, kami pun memutuskan untuk segera pergi ke kota asalku,
Wonosobo.
Aku sengaja
mengajak Danee naik travel agar kami berdua bisa rileks sejenak, sekaligus
dapat menikmati perjalanan singkat menuju Wonosobo. Untung saja Danee tidak
mabuk karena jalan yang bis kami tempuh berkelok-kelok, menanjak, dan banyak
lubang disana-sini.
Kabut putih
tebal menyambut kedatangan Danee dan kepulanganku di Wonosobo. Karena sudah
lewat jam makan siang, aku pun mengajak Danee untuk singgah sebentar di Waroeng
Djoglo yang berada di kecamatan Reca, Wonosobo. Danee terlihat sedang merengkuh
tubuhnya di sudut ruangan rumah makan itu. Setelah memesan beberapa makanan
yang kiranya cocok di lidah Danee, aku pun duduk di meja tepat di depan Danee
duduk. Dia mengacungkan jempol padaku, Ah, bukan. Lebih tepatnya untuk
pemandangan gunung Sindoro yang terlihat elok dari rumah makan yang seluruh pondasinya
terbuat dari kayu ini.
Aku dan Danee
akhirnya melanjutkan perjalanan dengan bis setelah menghabiskan ayam penyet
yang pedas dan super enak.
**
Teman-teman
perempuan satu sekolahku beramai-ramai berkumpul di depan gerbang sekolah
ketika aku baru saja keluar dari musola. Aku berlari kecil menghampiri Talita
yang terlihat berdiri di barisan paling belakang dari kerumunan itu.
Jantungku nyaris
melompat keluar dari tempatnya bila saja aku tidak membungkam mulutku saat ini
juga. Aku kaget sekaligus terpana melihat sosok tinggi dengan kaos putih
bertuliskan Jogja yang berdiri di dekat penjual minuman dekat sekolahku. Danee.
Itu teman buleku yang sudah dua hari ini menghabiskan waktu denganku.
“Siapa dia,
Nit?” Aku mengerjapkan mataku begitu suara berat Dimas sampai di gendang
telingaku.
“Temanku.”
Balasku cepat. Dimas menatapku datar. Aku memicingkan mataku, “kau tak percaya,
kan?” Tambahku.
“Tentu tidak.”
Serunya lantang. Tentu saja dia tidak percaya. Aku belum pernah menceritakan
Danee pada siapa pun. Termasuk Dimas yang notabenenya
adalah teman laki-laki terdekatku.
“Biarkan gadis
manis ini membuktikan omongannya.” Kataku dengan penuh percaya diri, sekaligus
hendak meledek Dimas yang tak mau percaya pada jawabanku. Aku berjalan tanpa
ragu menerobos kerumunan gadis-gadis belia yang tubuhnya lebih tinggi dariku.
Talita sempat memanggil namaku, bermaksud menyuruhku untuk berhenti dan
menonton saja. Ketika aku sudah berhasil berdiri di barisan terdepan.. Ya,
sesuai dugaanku,
“Anita!” Danee
memanggil namaku. Sebuah senyuman kecil terbit di wajahku. Gadis-gadis
dibelakangku mulai ribut membicarakanku dan bule tampan itu.
**
“Wow! Just wow!” Komentar Danee begitu ia
melahap habis semangkuk mie dengan bau khas ebi yang bertebaran di atas
gumpalan mie itu.
“Mie ongklok. Try to say it.” Pintaku pada Danee yang
baru meneguk air putih.
“Mie.. Ongklok?”
katanya dengan wajah serius. Aku tersenyum lebar, Danee membalas senyumanku. Tidak
salah aku mengajak Danee makan mie ongklok di warung kecil yang letaknya hanya
beberapa ratus meter dari hotel tempat ia menginap. Paduan Mie berkuah kental
berkanji dengan beberapa tusuk sate sapi ini memang tak boleh dilewatkan begitu
saja oleh para wisatawan yang datang ke Wonosobo. Danee bilang kalau mie
ongklok terlalu aneh dan lucu untuk sebuah nama mie berkuah. Aku menjelaskan
apa yang kutahu tentang mie ongklok pada Danee. Bahkan tanpa malu-malu, aku
meminjam alat untuk merebus mie yang penjual itu sebut dengan ongklok untuk
menunjukkannya pada Danee.
**
Lima hari sudah
Danee tinggal di Wonosobo. Beberapa tempat seperti telaga Menjer, waduk
Wadaslintang, Curug Winong, agrowisata tambi, sampai pemandian air panas
Kalianget pun sudah kami kunjungi. Aku sangat lega karena bisa membuat Danee
senang dan tidak menyesal telah datang berkunjung ke kota kecil seperti ini.
Pagi ini aku dan
Danee berada di kawasan candi Arjuna untuk menyaksikan ritual potong rambut
gimbal. Danee sibuk dengan kameranya, sedangkan aku hanya duduk diam
mengamatinya. Kadang Danee memintaku untuk menjadi model dalam sesi memotretnya,
kadang juga ia merengek minta difoto bersama salah satu anak berambut gimbal.
Aku menjelaskan ulang padanya kalau ritual ini sangat penting bagi anak-anak
berambut gimbal tersebut, jadi kita tidak bisa asal bertindak karena bisa
mengganggu upacara itu.
Kami
meninggalkan candi Arjuna menuju ke telaga warna setelah akhirnya ada seorang
anak berambut gimbal yang bersedia untuk berfoto bersama kami berdua. Dimas dan
Talita menyusul kami ke telaga warna. Aku pun memperkenalkan Danee secara resmi
pada dua sahabatku. Berulang kali aku memergoki Talita yang sedang menatap lama
Danee, tanpa berkedip. Akhirnya aku pun merelakan Talita dan Danee naik flying fox berdua karena kakiku yang
tiba-tiba saja kram. Dimas duduk di sampingku ketika aku sedang memerhatikan
Danee dan Talita yang sedang mengantri di seberang telaga yang didominasi oleh
warna hijau ini.
“Hebat. Kau
berhasil menarik wisatawan luar negeri sampai ke kota dingin seperti ini.” Puji
Dimas. Hatiku sedikit berdesir mendengarnya.
“Terima kasih,
Dim. Aku juga tidak menyangka bisa seperti ini. Aku bersyukur.” Tungkasku. Kali
ini perhatianku kembali lagi pada dua orang yang sedang sibuk memasang alat
pengaman ditubuh mereka. Sempat terbesit sebuah kalimat cemburu dalam
pikiranku. Setelah aku pikirkan, Danee memang orang yang sangat baik. Aku kira
dia akan tertawa selebar itu hanya saat bersamaku, ternyata tidak. Walau dengan
Talita yang baru beberapa menit ia temui saja wajah itu tetap terlihat ramah
dan sumringah. Aku sangat beruntung karena sudah dipertemukan dengan laki-laki
sebaik Danee.
“Nulis apaan,
Nit?” tanya Dimas. Aku menunjukkan hasil tulisanku padanya. Dia pun mengangguk,
“deadlinenya kapan sih?” tanyanya
lagi.
“Sekitar satu
minggu lagi. Duh, kelabakan nih aku. Banyak poin penting yang belum aku tulis.”
“Salah siapa
nggak dikerjain dari dulu.” Aku hanya meringis mendengar omelan Dimas.
**
Aku kembali
berdua dengan Danee setelah Dimas dan Talita memutuskan untuk pulang lebih
dulu. Alasan Dimas terdengar lucu untukku. Dia bilang tidak mau mengganggu
liburanku dengan Danee. Lebih lucu lagi ketika Talita terpaksa ikut pulang
karena desakan dari Dimas yang mengatakan agar dia tidak mengganggu acara
kencanku dengan Danee. Ah, sangat menggemaskan.
“it’s really cold here, isn’t it?” kataku.
Danee mengangguk setuju. Aku dan Danee sedang menikmati pop mie panas di luar
gedung Dieng Plateau Theatre. Masih ada sepuluh menit sebelum film pendek yang
mengisahkan tentang sejarah dataran tinggi Dieng itu dimulai.
“What is that?” tanya Danee sambil menunjuk
tumpukan dua buku di atas ranselku.
Aku melirik buku
yang ditunjuk Danee. “Just a book.”
Jawabku.
“May I see it?”
Aku sedikit ragu
ketika akhirnya kupinjamkan buku catatan itu pada Danee. Banyak sekali coretan
tak jelas di bukuku. Aku merasa malu jika sampai Danee melihat gambar-gambar
aneh pada lembaran kertas itu.
“Hmm,” gumam
Danee. Jantungku berdebar dengan cepat melihat ekspresi Danee yang tidak bisa
diartikan itu. Danee akhirnya buka suara, “would
you mind to be my tour guide, Anita?” lagi. Danee selalu berhasil membuatku
bingung dengan jalan pikirnya. Pemandu wisata katanya?
“Hah?” aku
menatapnya, tak paham dengan maksud dari permintaannya.
Danee menunjukkan
sebuah kalimat pada buku itu padaku.
….Telaga itu terlihat berwarna-warni. Airnya terbilang
sangat tenang dan mampu memberikan pantulan cermin terbalik pada pemandangan
yang indah di pesisirnya.
Danau itu disebut sebagai telaga warna. Salah
satu objek wisata dengan panorama terbaik di dataran tinggi dieng.
(psss, I want to be the best guide
in this world :I)
Danee
meminta aku untuk mengantarnya ke tempat yang sama dengan film pendek yang
tahun lalu aku buat. Setelah menimbang-nimbang ajakan Danee, akhirnya aku
menyetujuinya. Selain bisa mendapatkan kesempatan lebih untuk menjadi pemandu
wisata yang memang masuk dalam daftar cita-citaku, aku juga bisa kembali
merasakan panorama menakjubkan di gunung Prau. Dan, ini bisa kujadikan sebagai hadiah
terakhirku pada Danee. Minggu depan Danee sudah harus kembali ke pulau dewata,
Bali.
**
Barang
bawaan sudah tertata rapi di dalam tas gunungku. Aku meminjam tas gunung untuk
Danee, serta alat-alat penting seperti sleeping
bag dan tenda dom milik Dimas. Ini benar-benar petualangan, batinku. Aku
belum pernah naik gunung dengan jumlah personil tak lebih dari dua orang. Memang
merepotkan, karena hanya membawa tenda dom dan bekal makanan saja aku sudah
kuwalahan. Demi Danee. Kali ini aku akan berjuang sampai akhir untuknya. Aku
akan menunjukkan padanya sesuatu yang pastinya belum pernah ia lihat di negaranya.
Bahkan di Indonesia saja, lebih kurang hanya ada tiga gunung yang memiliki
sabana luas seindah yang dimiliki oleh gunung Prau. Dan itu ada di Wonosobo!
Setelah
kira-kira 45 menit berjalan meninggalkan penginapan, kami mulai masuk hutan
dengan medan jalanan tanah yang sedikit licin karena bekas hujan semalam.
Jalannya pun sedikit menanjak yang membuat kami berulang kali mengambil
istirahat sejenak. 3 jam pun sudah kami lewati di medan yang tak terlalu sulit
ini. Kami berjalan didalam hutan dengan kondisi kabut tebal disertai rintik
hujan dan angin kencang. Kami kembali beristirahat ketika sampai di tower milik
pertamina. Hari sudah petang. Udara pun berembus semakin kencang. Aku tidak
takut, hanya saja aku mengkhawatirkan kondisi tubuh Danee. Mulutnya terlihat
membiru. Aku pun membongkar isi tasku untuk mengambil teh hangat yang
kumasukkan dalam botol minum stainless
steel.Setelah sejenak beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Danee
senang melihat puncak gunung yang sudah ada di depan mata.
Turun
bukit, kembali naik bukit, dengan jurang disisi kanan dan kiri. Kami sampai
setelah melewati medan sulit tadi. Begitu sampai, kami langsung disuguhi oleh pemandangan sabana
sepanjang mata memandang dengan siluet gunung-gunung di sekitar Jawa Tengah.
Semangatku kembali berkobar melihat taburan bintang di atas kepalaku, Danee pun
sudah tenggelam dalam jepretan blitz
kameranya.
**
“Morning, Anita.” Berkat suara lembut
itu, akhirnya dengan sangat terpaksa aku membuka kedua mataku yang terpejam
dengan rapat. Aku sangat mengantuk. Semua sendi ditubuhku terasa sakit dan
pegal.
“Morning too, Dan. Are you
ready to see another golden sunrise?” kataku menggoda Danee. Hamparan bunga
Daisy menyambut sunrise keduaku.
Danee, inilah pesona elok Wonosobo yang tak akan pernah kau lupakan. Ingat itu
baik-baik.
**
Dua
bulan setelah perpisahanku dengan Danee, akhirnya aku mendapat panggilan dari
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wonosobo untuk ikut serta dalam ajang
promosi daerah asal tingkat propinsi. Aku sangat senang karena syarat-syarat
kompetisiku ternyata memenuhi syarat. Aku pun berjuang lebih keras kali ini.
Keinginanku untuk mengenalkan Wonosobo pada banyak orang akhirnya mendapatkan
kemudahan. Terima kasih banyak, Tuhan.
**
Saturday, November 30th
Banyak orang menyambut kedatanganku di pendopo
Wonosobo. Semua yang hadir adalah orang-orang penting, termasuk orang tuaku.
Air mata nyaris terjatuh dari mataku. Aku tidak bisa lagi berkata-kata untuk
menggambarkan betapa bahagianya aku hari ini. Ini puncak dari jerih payahku selama
tiga bulan terakhir. Aku dan teman-teman lain yang mengikuti kompetisi ini
diberikan kesempatan oleh panitia untuk menyuarakan keindahan serta keunikan wisata
dan panorama yang dimiliki oleh daerah masing-masing di lima kota besar di
Indonesia. Pengetahuanku akan budaya Indonesia semakin bertambah. Ada sekitar
100 peserta, mulai dari Sabang hingga Merauke nan jauh disana. Awalnya aku
merasa takut. Wonosobo tidak jauh beda dengan daerah-daerah lainnya dalam hal
keindahan alam. Beraneka ragam panorama dan budaya disuguhkan oleh banyak
daerah yang berbeda-beda. Aku takjub dibuatnya. Namun, aku tidak lantas
menyerah begitu saja. Dengan segala macam bentuk dukungan yang diberikan
padaku, aku berusaha membuat juri dan peserta lain mau melihat lebih jauh kota
kecilku tercinta. Kali ini demi Wonosobo aku berjuang mati-matian.
Selama dua malam aku membuat artike baru tentang “Hari Jadi
Wonosobo”. Setiap tahun, Wonosobo selalu memiliki agenda yang menarik untuk
diikuti. Biasanya ada kirab budaya, ziarah ke makam pendiri Kabupaten Wonosobo,
pesta rakyat yang menjadi acara favorit
masyarakat Wonosobo, ritual cukur rambut gembel, Opera Mahakarya Dieng yang
luar biasa indah, festival balon udara yang biasanya diadakan di pagi hari, dan
tak lupa resepsi hari jadi Wonosobo yang selalu diramaikan oleh band papan
atas. Aku berlatih mempresentasikan artikelku ini setiap harinya.
Hasilnya tidak buruk,
malahan lebih dari memuaskan. Aku berhasil menjadi kontestan terbaik ketiga
tingkat nasional. Aku dan kedua temanku yang menjadi juara dipulangkan ke
daerah asal setelah selama satu minggu lamanya dikumpulkan untuk pembagian target
kami selanjutnya. Kami bertiga mengemban tugas besar dari Kementrian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia untuk mempromosikan Indonesia ke mancanegara.
Siap tidak siap, mampu tidak mampu, kami harus bisa menyukseskannya.
“Seseorang mengatakan pada saya. Indonesia itu unik,
menarik, indah, dan memesona. Bukan hanya alamnya saja yang indah, mulai dari
makanan, minuman, tarian daerah, lagu-lagu daerah, flora dan fauna, upacara
adat, hingga keramahan warga Indonesia pun tak luput dari keindahan. Semua yang
ada saling melengkapi satu sama lain. Sungguh luar biasa indah. Begitulah tutur
katanya yang sampai saat ini, sampai saya berdiri di depan kalian semua, tidak
bisa saya lupakan.” Aku menelan ludahku, lalu kembali berbicara, “andai saja
kita bisa bahu-membahu, bekerja sama untuk mempertahankan keindahan yang sudah
saya sebutkan tadi, betapa beruntungnya kita karena telah dilahirkan sebagai
warga negara Indonesia. Percaya padaku, anak cucu kita nantinya akan sangat
bangga pada tanah air kita. Mereka akan termotivasi untuk selalu bertindak
positif demi kelestarian alam dan budaya Indonesia. Saya teramat sangat bangga
karena sudah terlahir dan tumbuh di Wonosobo yang penuh kesejukan dan sejuta
pesona. Sekali lagi, untuk bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek, dan semua yang
telah hadir disini, saya mengucapkan banyak terima kasih. Sekian.”
Dan
untuk kau yang tidak bisa datang ke sini, aku sangat sangat berterima kasih
padamu. Jika saja saat itu, ketika jemputanmu sudah hampir tiba dan kau tidak
mengatakan semua kalimat indah itu padaku, mungkin aku tidak akan pernah
menginjakkan kaki disini dengan prestasi membanggakan ini. Karena entah kekuatan apa yang kau miliki, hatiku langsung
tergerak untuk segera menyelesaikan makalah setengah jadiku tentang objek-objek
wisata di Wonosobo tepat setelah kita berpisah. Danee Liem, hadiah apa yang
kiranya pantas untuk jasa besarmu?
**
“Aku
tahu, seseorang itu pasti si bule tinggi itu, kan?” kata Dimas mencoba menebak
teka-teki yang bahkan tidak pernah kutanyakan padanya. Senyum lebar tak bisa
kuhindari lagi. Selalu, selalu saja Dimas membahas Danee yang juga selalu
berujung membuatku tersenyum tanpa alasan.
“Iri,
hah?” ledekku. Dimas tertawa. Merasa tebakannya tepat, dia pun merebut
ponselku. Dan… kalimat menyebalkan itu kembali keluar dari mulut besarnya, “How sweet. Fotonya bagus, keren ih. Sama
siapa ini, Nit? Hahahahaha”
Foto
yang sengaja aku pasang sebagai wallpaper
itu kembali mengingatkanku pada sepotong kenangan lamaku bersama Danee sewaktu berada
di puncak gunung Prau. Wajah kami dengan sunrise
sebagai latarnya terlihat begitu… Ah, aku merindukan laki-laki bermata sipit
itu.
“Dim,
mau ikut? Akhir tahun ini aku mau ke Bali.” Ajakku.
“Gratis?
Acara apa, Nit?” tanya Dimas senang. Aku tersenyum geli melihat wajahnya.
“Aku
ada janji dengan Danee untuk bertemu di Bali. Apa kamu merindukannya?” kataku
menggoda.
Danee, wait me there and get ready to go to our
next destination. In my land called, Indonesia. And of course I will take you back to this small town.
Selesai.
Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen
#HariJadiWonosobo189
Klik disini untuk ikut event yang sama.
TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG :)
ikut baca2 ya... salam
BalasHapus