we born to be HAPPY - welcome! read and get some inspiration :)

Kamis, 10 April 2014

Wonosobo, I Love You So. (Cerpen)

Short story by Aldilanita Safira


Kota Kecil Kebanggaan


“Hal yang luar biasa kadang bukan sesuatu yang besar, bahkan sering terlewatkan.”




            Aku berdiri kaku menghadap cermin besar di kamar hotel tempatku menginap. Pikiranku mulai berimajinasi liar seketika aku membayangkan buket bunga yang akan aku terima nanti pada acara malam penghargaan bagi para pemuda-pemudi yang telah berhasil menyuarakan kota asal mereka ke luar daerah, bahkan hingga mancanegara, sebagai kota yang unik akan budayanya. Tentu, tidak mudah meraih prestasi membanggakan itu. Kulirik jepitan rambut berbentuk bunga jepun yang menghiasi rambut sebahuku. Benar, laki-laki itulah sumber kekuatanku. Berkat rasa ingin tahu dan semua dukungannya, aku bisa meraih sesuatu yang bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiranku sebelumnya.

            “Nit, udah siap? Pak Tono nungguin di mobil, tuh.” Seru Talita yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.

            “Oh, ya! Sebentar lagi aku keluar.” Balasku. Aku kembali menatap pantulan wajahku di cermin. Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Lalu kutarik sudut bibirku ke atas, membentuk senyuman kecil. Apa kau sudah siap, Anita?

Sunday, 16 June 2011.

What time is it now, Nit???

Ya, selalu kalimat tanya itu yang akan mengakhiri obrolan panjangku dengan Danee, temanku yang berada jauh di belahan dunia sana. Balasanku pun selalu sama,

Okay, give up! I’ll sleep now. See you again. :)

Kami, aku dan Danee, sudah sering menghabiskan malam bersama di depan layar komputer untuk bertukar ide, pengalaman, dan pendapat. Tidak jarang pula kami bertukar informasi tentang kehidupan pribadi masing-masing. Contohnya saja, dimana aku tinggal, dimana Danee sekolah, dimana aku sering menghabiskan liburan, dan banyak hal lainnya.

Pertemuan kami di dunia maya bisa dibilang aneh. Saat itu aku sedang berkunjung ke sebuah situs web dimana pengumuman pemenang Festival Film Alam Nasional 2011 akan ditampilkan. Dan, timku menang. Film berdurasi 15 menit yang aku sutradarai berhasil menjadi jawara di festival film bergengsi di kalangan pelajar sampai mahasiswa itu. Dan tak berselang lama, ketika rasa senang bercampur haru masih memenuhi benakku, aku mendapat satu pesan di akun twitterku. Kalimatnya singkat. Sampai sekarang aku masih ingat pujian pertama dari Danee untukku.

What an awesome movie! You’ve done it very well.

Aku tercengang membaca komentar bule itu. Aku tidak menambahkan subtitle dengan bahasa inggris pada film pendekku. Jadi, apa yang bisa dimengerti oleh bule itu ketika menyaksikan film dokumenter dengan narasi berbahasa indonesia?

Setelah bercakap-cakap cukup lama, akhirnya Danee membocorkan identitasnya padaku. Dia adalah keponakan dari seseorang yang merupakan founder festival film ini. Seluruh anggota keluarganya tinggal di New Jersey, USA, kecuali pamannya yang lebih memilih untuk hidup dan meneruskan karirnya di Indonesia.

Semalaman aku terus memutar ulang film karya timku dengan tujuan mencari maksud dari perkataan Danee padaku sebelum ia memutuskan untuk offline.

Kamu dan timmu berhasil mendokumentasikan sesuatu yang indah, yang mungkin hanya ada di daerah dimana kalian tinggal. Wonosobo? Aku sering berkunjung ke negaramu, tetapi aku tidak tahu ada kota dengan nama rumit itu. Jadi, yang membuat kalian menang adalah kalian telah berhasil mengekspos sesuatu yang belum atau jarang dilihat orang lain, mengerti?

Begitulah kiranya perkataan Danee bila kuterjemahkan ke dalam bahasa indonesia. Selama ini aku tidak pernah mempunyai gagasan yang sama dengan Danee. Yang aku incar, sebagai sutradara, hanyalah mencari objek yang menarik dan bagaimana caranya mendokumentasikan itu dengan seunik mungkin. Aku salut dengan Danee. Dia membuka mataku akan keindahan alam yang mungkin hanya kota kami yang memilikinya dan bagaimana caranya mengenalkannya pada dunia.

**

Mulai dari makanan, minuman, hingga cemilan ringan khas dari daerahku. Setiap hari Danee tidak pernah absen menanyakan hal-hal kecil semacam itu padaku. Aku sendiri tidak mau kalah cerewetnya dengan Danee. Aku selalu ingin tahu seperti apa negara-negara yang pernah masuk dalam list liburannya.

Jepang, Italia, Inggris, Perancis, Kanada, Australia, dan Cina. Mulutku menganga membayangkan berapa banyak uang yang telah ia habiskan untuk pergi liburan ke negara-negara penuh pesona itu. Keindahan setiap negara yang sudah pernah ia kunjungi tak luput dari ceritanya. Danee menyimpulkan bahwa setiap negara itu unik dengan masing-masing budayanya. Lalu sebuah pernyataan dari Danee kembali terlontar secara ajaibnya.

I’ll visit you next year. So, are you ready to show me some awesome place?

**

Hari ini aku meninggalkan rumah pagi-pagi sekali untuk mengikuti event menanam pohon di kawasan telaga Menjer. Aku dan teman-temanku berkumpul di alun-alun yang berada di pusat kota sebelum menuju ke telaga Menjer.

Terlihat kerumunan orang di sekitar alun-alun. Banyak pedagang yang menjual dagangannya dengan harga murah meriah. Selain itu, tentu saja banyak sekali orang-orang, mulai dari kanak-kanak hingga dewasa yang tengah menikmati apa yang sering disebut dengan sunday morning.

Aku sudah berdiri di depan SMP 1 Wonosobo yang berada tepat di sebelah barat alun-alun selama hampir satu jam. Selalu begini. Aku kembali ditelantarkan oleh teman-temanku yang notabenenya suka ingkar janji, atau bisa dibilang selalu tidak tepat waktu. Tiba-tiba mataku menangkap penjual gorengan. Sejurus kemudian aku sudah menghampiri penjual itu dan langsung melahap satu tempe kemul yang masih panas. Wonosobo punya banyak sekali makanan enak, murah, unik, dan membuat ketagihan. Seperti makanan satu ini yang sudah sampai di pencernaanku.

**

Aku mengusap peluh dikeningku dengan sapu tangan yang sudah basah. Aku menggulung sapu tangan itu, lalu kuperas kuat-kuat.

“Jorok. Pakai ini aja.” Kata Dimas dengan gemas seraya menyodorkan gulungan tisu padaku.

Thanks” kataku sambil nyengir.

“Menurut kamu, telaga ini bisa jadi objek wisata unggulan nggak di Wonosobo?” Tanya Dimas sambil ikut berbaring di hamparan rumput hijau segar. Aku memandang jauh ke arah perahu yang tengah melayang di atas telaga.

“Kurasa bisa, tapi kemungkinannya kecil.” Kataku. Dimas tak menjawab, tanda tak mengerti. Aku pun melanjutkan argumenku yang menggantung, “daripada ke Menjer, orang awam pasti lebih memprioritaskan berwisata ke Dieng, kan? Orang asli Wonosobo saja banyak yang enggan berkunjung kesini karena pemandangannya sebatas genangan air, iya kan?”

“Benar sih, tapi kenapa kita tidak mengupayakan agar Menjer layak masuk ke daftar objek wisata menarik?”

“Dimas, pemandangan indah dan menarik ada banyak sekali di Wonosobo.” Kataku sedikit geli, “perkebunan teh, sikunir..”

“Iya bawel! Yuk gabung sama anak-anak.” Ajak Dimas. Aku mengerucutkan bibirku kesal, lalu ikut beranjak pergi dari tempat teduh tadi.

“Dim, kita selesain program penghijauan ini aja dulu, baru kita bisa ajuin proposal ke  pariwisata Wonosobo buat menggali lebih dalam potensi telaga Menjer. Gimana?”

“Pinter” kata Dimas sambil mengacak-acak poni basahku, “lagian disini seger, adem. Enak buat santai, buat foto nikahan juga boleh tuh.”

Hahahaha, bisa bisa.

**

Malam ini aku datang sedikit terlambat. Ternyata Danee sudah tidak sabar menunggu balasan dariku, sampai-sampai mention dan dm twitterku sudah penuh akan namanya.

Wait. I have something for you.

Aku mengirimkan tiga buah foto hasil jepretanku pagi tadi saat mengunjungi perkebunan carica di Dieng. Sudah bisa kutebak kalau Danee akan menyukai foto-foto tadi. Danee adalah seorang pecinta alam, sama sepertiku. Hal inilah yang kurasa menjadi faktor utama keakraban kami selama hampir lima bulan ini.

I'll visit you for real!

Aku tersenyum geli membaca kalimat itu. Danee tidak pernah tidak serius dengan apa yang dia katakan. Contohnya saja ketika dia sedang berlibur ke Perancis. Aku merengek meminta dibelikan sesuatu oleh Danee, berhubung dia sedang berada di negara fashion terkenal itu. Dia sendiri tidak ambil pusing, malam harinya Danee mengirimkan aku sebuah foto yang sempat membuatku senang sampai melompat-lompat di atas ranjang. Di foto itu, Danee dengan wajah tampan dan potongan rambut mirip Liam One Direction itu sedang berdiri sambil membawa satu potong dress berwarna soft pink dengan tempelan kristal-kristal di bagian bahu kanan.

Jadi, aku bertaruh kalau Danee benar-benar akan datang menemuiku. Di kota kecil penuh kesejukan ini. Dan aku.. Aku akan membuat Danee tidak menyesali keputusannya itu.

**

Seminggu terakhir ini aku disibukkan dengan rutinitas baruku, yaitu survey lapangan. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung tancap gas menuju objek-objek wisata yang sudah menjadi sasaranku sebelumnya. Demi apa? Demi mendapatkan sebanyak mungkin informasi akurat dari setiap objek wisata di Wonosobo.

“Gila Dim, aku nyaris lupa sama deadline tugas fisika!” keluhku pada Dimas. Teman satu kelasku itu memang selalu menjadi sasaran empuk ketika aku mulai lelah dengan segala rutinitas.

Dimas menarik pipiku kuat-kuat, seraya berkata, “makanya nurut sama aku. Kalo mau pergi, biar aku yang antar jemput. Jadi kan kamu nggak kecapekan.” Kata Dimas gemas. Petuahnya itu sudah sering kudengar, tapi tidak pernah kuindahkan walau pun hanya sekali. Mau bagaimana lagi, aku tak mungkin terus meminta bantuan Dimas. Sudah mengingatkanku pada tugas-tugas sekolah saja itu lebih dari cukup untukku. Aku tak mau meminta bonus.

“Kamu mau ikut audisi duta wisata Wonosobo?” tanya Dimas. Aku menggeleng cepat. “kenapa segitu minatnya sama objek wisata disini? Well, kita ini kan cuma anggota pecinta alam. Apa perlu segitu terikatnya sama objek wisata bertajuk alam?” aku menggeleng lagi. kedua pipi Dimas menggembung bersamaan. Aku tertawa melihat ekspresi kesalnya. Aku tahu aku menyebalkan, tapi ini adalah misiku seorang. Suatu saat pasti akan aku ceritakan, Dim, batinku.  

**

Saturday, August 18th 2012

Yogyakarta. Aku menikmati setiap menit yang aku habiskan di kota gudeg yang selalu ramai disetiap sudutnya. Nekat. Itu kata paling tepat untuk gadis dibawah umur sepertiku yang berani bolos sekolah hanya untuk menjemput seseorang yang bahkan belum pernah ditemui. Modalku hanyalah uang tabungan selama lima bulan dan juga izin dari orang tua yang amat teramat sulit didapatkan.

Danee Liem. Begitu tulisan yang terpampang di lembaran pertama block note ku. Aku tengah duduk di bawah pohon besar di alun-alun Kidul yang saat ini sedang ramai akan pengunjung. Tanganku kembali menuliskan beberapa kalimat di lembaran kosong. Aku berpikir, apabila nanti secara tiba-tiba, disengaja atau pun tidak, dan bila itu mendesak, aku akan menunjukkan catatan ini pada bule bernama Danee. Ya, Danee. Teman ngobrolku di dunia maya itu sebentar lagi akan muncul di depan mataku. Kali ini tidak secara ajaib tentunya. Beberapa hari sebelum datang ke Jogja, Danee tinggal di apartemen pamannya yang berada di seberang pulau Jawa, Bali. Aku sempat kalut karena awalnya Danee memintaku untuk menjemputnya di Bandara Adi Sucipto. Itu sangat tidak mungkin. Kalian tahu lah, aku ini anak desa yang baru pertama kali pergi ke luar kota sendirian. Jadi, bisa sampai di Jogja dengan selamat saja aku sudah sangat bersyukur. Danee pun memakluminya dan bersedia untuk mendatangiku di tempat janjian kita, alun-alun Kidul Yogyakarta.

**

Tinggi, putih bersih tanpa noda di wajah, mata sedikit sipit, dan bahunya terlihat kuat dan begitu tegap. Aah.. bagaimana aku harus menggambarkan sosok Danee yang baru beberapa menit aku temui secara langsung? Nyaris sempurna, ya, itu saja kesimpulanku.

Again, you didn't say anything and just staring at me with those eyes.” Raut wajah Danee begitu unik ketika sedang kebingungan. Uhm, mungkin karena ini kali pertamanya aku jalan berdua dengan seorang bule, jadi tanpa disuruh, mataku dengan pintarnya sudah menatap lekat-lekat sosok di depanku ini.

I told you not to moving on, I will take your picture now.” Klik.

Aku berjalan mengelilingi alun-alun Kidul bersama Danee. Danee sangat tertarik dengan bangunan keraton yang letaknya tak jauh dari tempat kami berdiri. Dengan kemampuan berbicara bahasa inggrisku yang amburadul, sedikit demi sedikit aku memandu Danee berwisata di Jogja. Sembari kami menikmati langit sore, aku menjajakan uang tabunganku untuk membelikan Danee jajanan murah yang dijual di sekitar alun-alun.

**

Sekitar pukul 3 pagi, aku dan Danee check out dari penginapan kecil yang berada di jalan Kaliurang, Jogja. Danee menyewa mobil sedan kemarin malam, jadi aku tidak perlu membayar ongkos untuk perjalanan kami yang cukup jauh menuju Candi Borobudur.

Here you are.” Kataku seraya menyodorkan segelas wedang jahe panas pada Danee. Ia nampak tidak sabar menunggu sunrise pertamanya di Indonesia. Aku pun begitu. Ini pertama kalinya aku menyaksikan sunrise selain di puncak sikunir dan gunung prau. Udara dingin pagi di Candi Borobudur tidak sebanding dengan udara pagi di Wonosobo, pikirku.

Selama dua jam, aku dan Danee dipandu oleh seorang pemandu wisata di Candi Borobudur. Danee nampak antusias dengan sejarah dan seluk beluk tentang candi Budha itu. Setelah matahari mulai meninggi, kami pun memutuskan untuk segera pergi ke kota asalku, Wonosobo.

Aku sengaja mengajak Danee naik travel agar kami berdua bisa rileks sejenak, sekaligus dapat menikmati perjalanan singkat menuju Wonosobo. Untung saja Danee tidak mabuk karena jalan yang bis kami tempuh berkelok-kelok, menanjak, dan banyak lubang disana-sini.

Kabut putih tebal menyambut kedatangan Danee dan kepulanganku di Wonosobo. Karena sudah lewat jam makan siang, aku pun mengajak Danee untuk singgah sebentar di Waroeng Djoglo yang berada di kecamatan Reca, Wonosobo. Danee terlihat sedang merengkuh tubuhnya di sudut ruangan rumah makan itu. Setelah memesan beberapa makanan yang kiranya cocok di lidah Danee, aku pun duduk di meja tepat di depan Danee duduk. Dia mengacungkan jempol padaku, Ah, bukan. Lebih tepatnya untuk pemandangan gunung Sindoro yang terlihat elok dari rumah makan yang seluruh pondasinya terbuat dari kayu ini.

Aku dan Danee akhirnya melanjutkan perjalanan dengan bis setelah menghabiskan ayam penyet yang pedas dan super enak.

**

Teman-teman perempuan satu sekolahku beramai-ramai berkumpul di depan gerbang sekolah ketika aku baru saja keluar dari musola. Aku berlari kecil menghampiri Talita yang terlihat berdiri di barisan paling belakang dari kerumunan itu.

Jantungku nyaris melompat keluar dari tempatnya bila saja aku tidak membungkam mulutku saat ini juga. Aku kaget sekaligus terpana melihat sosok tinggi dengan kaos putih bertuliskan Jogja yang berdiri di dekat penjual minuman dekat sekolahku. Danee. Itu teman buleku yang sudah dua hari ini menghabiskan waktu denganku.

“Siapa dia, Nit?” Aku mengerjapkan mataku begitu suara berat Dimas sampai di gendang telingaku.

“Temanku.” Balasku cepat. Dimas menatapku datar. Aku memicingkan mataku, “kau tak percaya, kan?” Tambahku.

“Tentu tidak.” Serunya lantang. Tentu saja dia tidak percaya. Aku belum pernah menceritakan Danee pada siapa pun. Termasuk Dimas yang notabenenya adalah teman laki-laki terdekatku.

“Biarkan gadis manis ini membuktikan omongannya.” Kataku dengan penuh percaya diri, sekaligus hendak meledek Dimas yang tak mau percaya pada jawabanku. Aku berjalan tanpa ragu menerobos kerumunan gadis-gadis belia yang tubuhnya lebih tinggi dariku. Talita sempat memanggil namaku, bermaksud menyuruhku untuk berhenti dan menonton saja. Ketika aku sudah berhasil berdiri di barisan terdepan.. Ya, sesuai dugaanku,

“Anita!” Danee memanggil namaku. Sebuah senyuman kecil terbit di wajahku. Gadis-gadis dibelakangku mulai ribut membicarakanku dan bule tampan itu.

**

Wow! Just wow!” Komentar Danee begitu ia melahap habis semangkuk mie dengan bau khas ebi yang bertebaran di atas gumpalan mie itu.

“Mie ongklok. Try to say it.” Pintaku pada Danee yang baru meneguk air putih.

“Mie.. Ongklok?” katanya dengan wajah serius. Aku tersenyum lebar, Danee membalas senyumanku. Tidak salah aku mengajak Danee makan mie ongklok di warung kecil yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari hotel tempat ia menginap. Paduan Mie berkuah kental berkanji dengan beberapa tusuk sate sapi ini memang tak boleh dilewatkan begitu saja oleh para wisatawan yang datang ke Wonosobo. Danee bilang kalau mie ongklok terlalu aneh dan lucu untuk sebuah nama mie berkuah. Aku menjelaskan apa yang kutahu tentang mie ongklok pada Danee. Bahkan tanpa malu-malu, aku meminjam alat untuk merebus mie yang penjual itu sebut dengan ongklok untuk menunjukkannya pada Danee.

**

Lima hari sudah Danee tinggal di Wonosobo. Beberapa tempat seperti telaga Menjer, waduk Wadaslintang, Curug Winong, agrowisata tambi, sampai pemandian air panas Kalianget pun sudah kami kunjungi. Aku sangat lega karena bisa membuat Danee senang dan tidak menyesal telah datang berkunjung ke kota kecil seperti ini.

Pagi ini aku dan Danee berada di kawasan candi Arjuna untuk menyaksikan ritual potong rambut gimbal. Danee sibuk dengan kameranya, sedangkan aku hanya duduk diam mengamatinya. Kadang Danee memintaku untuk menjadi model dalam sesi memotretnya, kadang juga ia merengek minta difoto bersama salah satu anak berambut gimbal. Aku menjelaskan ulang padanya kalau ritual ini sangat penting bagi anak-anak berambut gimbal tersebut, jadi kita tidak bisa asal bertindak karena bisa mengganggu upacara itu.

Kami meninggalkan candi Arjuna menuju ke telaga warna setelah akhirnya ada seorang anak berambut gimbal yang bersedia untuk berfoto bersama kami berdua. Dimas dan Talita menyusul kami ke telaga warna. Aku pun memperkenalkan Danee secara resmi pada dua sahabatku. Berulang kali aku memergoki Talita yang sedang menatap lama Danee, tanpa berkedip. Akhirnya aku pun merelakan Talita dan Danee naik flying fox berdua karena kakiku yang tiba-tiba saja kram. Dimas duduk di sampingku ketika aku sedang memerhatikan Danee dan Talita yang sedang mengantri di seberang telaga yang didominasi oleh warna hijau ini.

“Hebat. Kau berhasil menarik wisatawan luar negeri sampai ke kota dingin seperti ini.” Puji Dimas. Hatiku sedikit berdesir mendengarnya.

“Terima kasih, Dim. Aku juga tidak menyangka bisa seperti ini. Aku bersyukur.” Tungkasku. Kali ini perhatianku kembali lagi pada dua orang yang sedang sibuk memasang alat pengaman ditubuh mereka. Sempat terbesit sebuah kalimat cemburu dalam pikiranku. Setelah aku pikirkan, Danee memang orang yang sangat baik. Aku kira dia akan tertawa selebar itu hanya saat bersamaku, ternyata tidak. Walau dengan Talita yang baru beberapa menit ia temui saja wajah itu tetap terlihat ramah dan sumringah. Aku sangat beruntung karena sudah dipertemukan dengan laki-laki sebaik Danee.

“Nulis apaan, Nit?” tanya Dimas. Aku menunjukkan hasil tulisanku padanya. Dia pun mengangguk, “deadlinenya kapan sih?” tanyanya lagi.

“Sekitar satu minggu lagi. Duh, kelabakan nih aku. Banyak poin penting yang belum aku tulis.”

“Salah siapa nggak dikerjain dari dulu.” Aku hanya meringis mendengar omelan Dimas.

**

Aku kembali berdua dengan Danee setelah Dimas dan Talita memutuskan untuk pulang lebih dulu. Alasan Dimas terdengar lucu untukku. Dia bilang tidak mau mengganggu liburanku dengan Danee. Lebih lucu lagi ketika Talita terpaksa ikut pulang karena desakan dari Dimas yang mengatakan agar dia tidak mengganggu acara kencanku dengan Danee. Ah, sangat menggemaskan.

it’s really cold here, isn’t it?” kataku. Danee mengangguk setuju. Aku dan Danee sedang menikmati pop mie panas di luar gedung Dieng Plateau Theatre. Masih ada sepuluh menit sebelum film pendek yang mengisahkan tentang sejarah dataran tinggi Dieng itu dimulai.

What is that?” tanya Danee sambil menunjuk tumpukan dua buku di atas ranselku.

Aku melirik buku yang ditunjuk Danee. “Just a book.” Jawabku.

May I see it?

Aku sedikit ragu ketika akhirnya kupinjamkan buku catatan itu pada Danee. Banyak sekali coretan tak jelas di bukuku. Aku merasa malu jika sampai Danee melihat gambar-gambar aneh pada lembaran kertas itu.

“Hmm,” gumam Danee. Jantungku berdebar dengan cepat melihat ekspresi Danee yang tidak bisa diartikan itu. Danee akhirnya buka suara, “would you mind to be my tour guide, Anita?” lagi. Danee selalu berhasil membuatku bingung dengan jalan pikirnya. Pemandu wisata katanya?

“Hah?” aku menatapnya, tak paham dengan maksud dari permintaannya.

Danee menunjukkan sebuah kalimat pada buku itu padaku.

….Telaga itu terlihat berwarna-warni. Airnya terbilang sangat tenang dan mampu memberikan pantulan cermin terbalik pada pemandangan yang indah di pesisirnya.
Danau itu disebut sebagai telaga warna. Salah satu objek wisata dengan panorama terbaik di dataran tinggi dieng.

(psss, I want to be the best guide in this world :I)

Danee meminta aku untuk mengantarnya ke tempat yang sama dengan film pendek yang tahun lalu aku buat. Setelah menimbang-nimbang ajakan Danee, akhirnya aku menyetujuinya. Selain bisa mendapatkan kesempatan lebih untuk menjadi pemandu wisata yang memang masuk dalam daftar cita-citaku, aku juga bisa kembali merasakan panorama menakjubkan di gunung Prau. Dan, ini bisa kujadikan sebagai hadiah terakhirku pada Danee. Minggu depan Danee sudah harus kembali ke pulau dewata, Bali.

**

Barang bawaan sudah tertata rapi di dalam tas gunungku. Aku meminjam tas gunung untuk Danee, serta alat-alat penting seperti sleeping bag dan tenda dom milik Dimas. Ini benar-benar petualangan, batinku. Aku belum pernah naik gunung dengan jumlah personil tak lebih dari dua orang. Memang merepotkan, karena hanya membawa tenda dom dan bekal makanan saja aku sudah kuwalahan. Demi Danee. Kali ini aku akan berjuang sampai akhir untuknya. Aku akan menunjukkan padanya sesuatu yang pastinya belum pernah ia lihat di negaranya. Bahkan di Indonesia saja, lebih kurang hanya ada tiga gunung yang memiliki sabana luas seindah yang dimiliki oleh gunung Prau. Dan itu ada di Wonosobo!

Setelah kira-kira 45 menit berjalan meninggalkan penginapan, kami mulai masuk hutan dengan medan jalanan tanah yang sedikit licin karena bekas hujan semalam. Jalannya pun sedikit menanjak yang membuat kami berulang kali mengambil istirahat sejenak. 3 jam pun sudah kami lewati di medan yang tak terlalu sulit ini. Kami berjalan didalam hutan dengan kondisi kabut tebal disertai rintik hujan dan angin kencang. Kami kembali beristirahat ketika sampai di tower milik pertamina. Hari sudah petang. Udara pun berembus semakin kencang. Aku tidak takut, hanya saja aku mengkhawatirkan kondisi tubuh Danee. Mulutnya terlihat membiru. Aku pun membongkar isi tasku untuk mengambil teh hangat yang kumasukkan dalam botol minum stainless steel.Setelah sejenak beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Danee senang melihat puncak gunung yang sudah ada di depan mata.

Turun bukit, kembali naik bukit, dengan jurang disisi kanan dan kiri. Kami sampai setelah melewati medan sulit tadi. Begitu sampai, kami langsung disuguhi oleh pemandangan sabana sepanjang mata memandang dengan siluet gunung-gunung di sekitar Jawa Tengah. Semangatku kembali berkobar melihat taburan bintang di atas kepalaku, Danee pun sudah tenggelam dalam jepretan blitz kameranya.

**

Morning, Anita.” Berkat suara lembut itu, akhirnya dengan sangat terpaksa aku membuka kedua mataku yang terpejam dengan rapat. Aku sangat mengantuk. Semua sendi ditubuhku terasa sakit dan pegal.

“Morning too, Dan. Are you ready to see another golden sunrise?” kataku menggoda Danee. Hamparan bunga Daisy menyambut sunrise keduaku. Danee, inilah pesona elok Wonosobo yang tak akan pernah kau lupakan. Ingat itu baik-baik.

**

Dua bulan setelah perpisahanku dengan Danee, akhirnya aku mendapat panggilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wonosobo untuk ikut serta dalam ajang promosi daerah asal tingkat propinsi. Aku sangat senang karena syarat-syarat kompetisiku ternyata memenuhi syarat. Aku pun berjuang lebih keras kali ini. Keinginanku untuk mengenalkan Wonosobo pada banyak orang akhirnya mendapatkan kemudahan. Terima kasih banyak, Tuhan.

**

Saturday, November 30th

            Banyak orang menyambut kedatanganku di pendopo Wonosobo. Semua yang hadir adalah orang-orang penting, termasuk orang tuaku. Air mata nyaris terjatuh dari mataku. Aku tidak bisa lagi berkata-kata untuk menggambarkan betapa bahagianya aku hari ini. Ini puncak dari jerih payahku selama tiga bulan terakhir. Aku dan teman-teman lain yang mengikuti kompetisi ini diberikan kesempatan oleh panitia untuk menyuarakan keindahan serta keunikan wisata dan panorama yang dimiliki oleh daerah masing-masing di lima kota besar di Indonesia. Pengetahuanku akan budaya Indonesia semakin bertambah. Ada sekitar 100 peserta, mulai dari Sabang hingga Merauke nan jauh disana. Awalnya aku merasa takut. Wonosobo tidak jauh beda dengan daerah-daerah lainnya dalam hal keindahan alam. Beraneka ragam panorama dan budaya disuguhkan oleh banyak daerah yang berbeda-beda. Aku takjub dibuatnya. Namun, aku tidak lantas menyerah begitu saja. Dengan segala macam bentuk dukungan yang diberikan padaku, aku berusaha membuat juri dan peserta lain mau melihat lebih jauh kota kecilku tercinta. Kali ini demi Wonosobo aku berjuang mati-matian.

            Selama dua malam aku membuat artike baru tentang “Hari Jadi Wonosobo”. Setiap tahun, Wonosobo selalu memiliki agenda yang menarik untuk diikuti. Biasanya ada kirab budaya, ziarah ke makam pendiri Kabupaten Wonosobo, pesta rakyat yang menjadi acara favorit masyarakat Wonosobo, ritual cukur rambut gembel, Opera Mahakarya Dieng yang luar biasa indah, festival balon udara yang biasanya diadakan di pagi hari, dan tak lupa resepsi hari jadi Wonosobo yang selalu diramaikan oleh band papan atas. Aku berlatih mempresentasikan artikelku ini setiap harinya.   

            Hasilnya tidak buruk, malahan lebih dari memuaskan. Aku berhasil menjadi kontestan terbaik ketiga tingkat nasional. Aku dan kedua temanku yang menjadi juara dipulangkan ke daerah asal setelah selama satu minggu lamanya dikumpulkan untuk pembagian target kami selanjutnya. Kami bertiga mengemban tugas besar dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia untuk mempromosikan Indonesia ke mancanegara. Siap tidak siap, mampu tidak mampu, kami harus bisa menyukseskannya.

            “Seseorang mengatakan pada saya. Indonesia itu unik, menarik, indah, dan memesona. Bukan hanya alamnya saja yang indah, mulai dari makanan, minuman, tarian daerah, lagu-lagu daerah, flora dan fauna, upacara adat, hingga keramahan warga Indonesia pun tak luput dari keindahan. Semua yang ada saling melengkapi satu sama lain. Sungguh luar biasa indah. Begitulah tutur katanya yang sampai saat ini, sampai saya berdiri di depan kalian semua, tidak bisa saya lupakan.” Aku menelan ludahku, lalu kembali berbicara, “andai saja kita bisa bahu-membahu, bekerja sama untuk mempertahankan keindahan yang sudah saya sebutkan tadi, betapa beruntungnya kita karena telah dilahirkan sebagai warga negara Indonesia. Percaya padaku, anak cucu kita nantinya akan sangat bangga pada tanah air kita. Mereka akan termotivasi untuk selalu bertindak positif demi kelestarian alam dan budaya Indonesia. Saya teramat sangat bangga karena sudah terlahir dan tumbuh di Wonosobo yang penuh kesejukan dan sejuta pesona. Sekali lagi, untuk bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek, dan semua yang telah hadir disini, saya mengucapkan banyak terima kasih. Sekian.”

Dan untuk kau yang tidak bisa datang ke sini, aku sangat sangat berterima kasih padamu. Jika saja saat itu, ketika jemputanmu sudah hampir tiba dan kau tidak mengatakan semua kalimat indah itu padaku, mungkin aku tidak akan pernah menginjakkan kaki disini dengan prestasi membanggakan ini. Karena entah kekuatan apa yang kau miliki, hatiku langsung tergerak untuk segera menyelesaikan makalah setengah jadiku tentang objek-objek wisata di Wonosobo tepat setelah kita berpisah. Danee Liem, hadiah apa yang kiranya pantas untuk jasa besarmu?

            **

“Aku tahu, seseorang itu pasti si bule tinggi itu, kan?” kata Dimas mencoba menebak teka-teki yang bahkan tidak pernah kutanyakan padanya. Senyum lebar tak bisa kuhindari lagi. Selalu, selalu saja Dimas membahas Danee yang juga selalu berujung membuatku tersenyum tanpa alasan.

“Iri, hah?” ledekku. Dimas tertawa. Merasa tebakannya tepat, dia pun merebut ponselku. Dan… kalimat menyebalkan itu kembali keluar dari mulut besarnya, “How sweet. Fotonya bagus, keren ih. Sama siapa ini, Nit? Hahahahaha”

Foto yang sengaja aku pasang sebagai wallpaper itu kembali mengingatkanku pada sepotong kenangan lamaku bersama Danee sewaktu berada di puncak gunung Prau. Wajah kami dengan sunrise sebagai latarnya terlihat begitu… Ah, aku merindukan laki-laki bermata sipit itu.

“Dim, mau ikut? Akhir tahun ini aku mau ke Bali.” Ajakku.

“Gratis? Acara apa, Nit?” tanya Dimas senang. Aku tersenyum geli melihat wajahnya.

“Aku ada janji dengan Danee untuk bertemu di Bali. Apa kamu merindukannya?” kataku menggoda.

Danee, wait me there and get ready to go to our next destination. In my land called, Indonesia. And of course I will take you back to this small town.



Selesai.





Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen

 #HariJadiWonosobo189


Klik disini untuk ikut event yang sama. 





TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG :) 

1 komentar:

think before comment (: