a short story by ; Aldilanita Safira
Genre ; Romance, Sad
Genre ; Romance, Sad
Keraguan, ketidakpastian.. Semuanya
akan berakhir tanpa kejelasan. Percayalah, lakukan sesuatu hanya bila kamu
yakin akan hal itu. Jangan menjadi menyesal, seperti aku.
--
"Jogja
panas ya?"
"Ya.
Seperti biasa." Jawabku datar. Dia berdehem lalu bergumam tak jelas. Aku
memandang gelasku dengan tatapan kosong. Aku mainkan sendok kecil yang tercelup
dalam cairan hitam pekat itu. Kopi. Entah sejak kapan hidupku menjadi sehitam
warna kopi ini. Suram tanpa warna.
Tiba-tiba
dia berdiri sambil menenteng tasnya. "Aku duluan ya, ada urusan."
Katanya. Aku hanya tersenyum. Dia masuk ke dalam mobilnya. Hanya
dalam beberapa detik, dia sudah menghilang dari pandanganku. Aku pun
meninggalkan tempat itu selagi aku masih bisa mengingat kemana aku harus pulang.
Biasanya, dia selalu merusak memoriku. Membuat kelopak mataku berjuang
mati-matian untuk menahan tangis. Lalu setelahnya, dia hanya mengucapkan 'maaf'
dan pergi. Dia meninggalkan aku yang tak tahu lagi harus melakukan apa. Aku
kehilangan arah, kehilangan semuanya. Aku hanya bisa terus berjalan, mengikuti
kemana jalan pikiranku menginginkan aku pergi. Seperti orang bodoh, kan?
--
Terik
matahari siang ini begitu menyengat. Panasnya menusuk-nusuk kepalaku. Pusing.
Aku pun segera menaiki bis Jogja-Magelang yang baru saja berhenti di terminal.
Aku duduk di kursi paling belakang.
Ku
alihkan perhatianku pada pemandangan kota dibalik kaca jendela. Lalu kejadian kejadian
di masa lalu berputar-putar di pikiranku. Seperti roll of film yang diputar, kini
aku bernostalgia.
--
Jogjakarta, 2011
Aku
baru mengikuti serangkaian ospek di universitas tersohor di Jogja. UGM. Saking
lelahnya, aku langsung terlelap begitu naik bis menuju kos-anku.
Drrt....drrtt
Klap!
"Ya?
Mm..mm.. Aku hampir sampai." Aku memasukkan barang-barang bawaanku kedalam
satu kantong plastik besar sembari mengusap-usap mataku yang masih setengah terbuka. Begitu selesai, aku baru merasakan ada seseorang yang tertidur di
pundak kananku.
"Se..Senior
Rafa?"
--
Itulah
awal dari hubunganku dengan seniorku, Rafa Nugraha. Kami sering bertemu dan
mengobrol di kampus ketika ada kesempatan. Kami pun menjadi semakin dekat
begitu semester tiga selesai.
"Kak
Rafa suka sama aku atau tidak sih?" Begitulah pertanyaanku ketika ia
hendak pulang ke Banten. Ia hanya tersenyum, lalu mengusap kepalaku.
"Aku
sayang banget sama Riri. Aku cuma kangen rumah, tunggu disini ya?"
Begitulah kiranya jawaban yang diberikan Rafa.
Senang?
Awalnya
aku sangat bungah begitu tahu dia juga memilki perasaan yang sama sepertiku.
Namun, lambat laun bahagiaku terkikis oleh keraguan yang terus menghantui
perasaanku. Semakin lama aku semakin ragu. Aku terus terjatuh dalam lubang
ketidakpastian. Walaupun dia mengatakan 'sayang', itu sudah tidak ada gunanya
lagi. Aku tetap ragu.
Kenapa?
Selama
itu, kami terus bertemu, terus bertatap muka, terus bertukar pikiran, dan
menghabiskan waktu bersama. Dan selama itupun, dia belum pernah menegaskan
keseriusannya padaku. Menikah? Pacar pun dia belum pernah menyinggungnya. Dia
memang menyayangiku. Aku pun begitu. Tapi, apa yang bisa menjadi jaminan kelak?
Tak ada ikatan pasti dalam hubungan kami. Mungkin, itu satu alasan dari
keraguanku.
Lalu
di akhir tahun sekolahnya, dia semakin sulit ditemui. Tak pernah memberi kabar
lagi. Aku kacau dan terluka.
Ah,
aku masih ingat hari itu. Puncak dari semua kehancuranku saat ini. Aku bertemu
ibunya di acara wisuda Rafa.
--
"Aku
merindukanmu." Kataku. Dia mengusap kepalaku lalu berkata, "cantik
sekali hari ini, ayo kesana." Dia menggenggam erat tanganku. Aku
tersenyum. Benar-benar lega karena dia masih sama. Jauh dari firasatku
sebelumnya.
Aku
berjalan sambil terus memandangi wajah kak Rafa yang dipoles dengan sedikit
make up. Sempurna, batinku.
Kami
berhenti ketika Rafa tiba-tiba melepaskan tanganku. Mataku berisyarat,
"Kenapa?" Lalu aku melihat seorang wanita paruh baya berjalan
mendekati kami. Ia mengenakan kebaya merah, rambutnya disanggul jawa.
"Rafa,
maaf ibu terlambat. Salonnya jauh dari sini." Katanya. Senyumannya begitu
hangat. "Siapa ini? Cantik sekali." Katanya lagi. Aku? Maksudnya aku,
kan? Aku baru akan menjawab ketika Rafa menyela, "Junior jurusan Psikolog
bu, temanku." Begitu katanya. Aku menatapnya tak percaya. Teman? Hanya
teman.. Ya?
"Oh
begitu" ibunya kembali tersenyum, "Dinda sedang mengambil minum, coba
kamu cari Fa." Lanjutnya.
Setelah
cukup lama berdiri menunggu Rafa, aku dan ibunya pun duduk di kursi yang
disediakan untuk para tamu.
"Maaf
bu, Dinda itu siapa ya? Adik sepupu kak Rafa?" Selama aku mengenal Rafa,
dia tidak pernah bercerita tentang seseorang bernama Dinda. Setahuku, Rafa
adalah anak tunggal di keluarganya.
"Bukan,
Dinda adalah tunangan Rafa."
Deg.
Tunangan?
"Rafa
belum cerita? Sejak dia masuk kuliah, keluarga kami dengan keluarga Dinda sudah
sepakat untuk menjodohkan Rafa dengan Dinda. Bulan lalu Rafa pulang ke Banten
untuk bertemu Dinda." Mataku sudah berair. Aku hanya tersenyum sambil
mengangguk-angguk. "Nanti juga ketemu sama Dinda, dia juga lulusan
psikologi. Bedanya dia lulusan universitas luar negeri." Tambahnya.
Aku
mengatakan kalau ada teman yang menungguku diluar, lalu aku segera pergi dari
tempat itu.
--
Bis
berhenti sesampainya di Magelang. Aku segera turun dari bis. Aku masih
memikirkan tentang masa-masa sulitku ketika aku menyusuri jalanan kota
Magelang.
--
Rafa
nampak sudah lelah dengan omelanku. Dia memegang bahuku lalu menyuruhku untuk
mengangkat kepalaku dan melihat matanya. Aku terus menangis sambil
memukul-mukul dadaku.
"Kenapa
begini kak?" Kataku terbata-bata, "sejak awal kau sudah tahu soal
perjodohan itu. Dan kau juga menyukai perempuan itu! Lalu kenapa kau memberiku
harapan? Kau pikir aku tak punya perasaan hah?! Kau kira aku boneka?! Mainanmu?!"
"Dengarkan
aku Ri," bug
Aku
memukul perutnya. Tangan kananku gemetaran, lalu aku pun kembali menangis.
"Coba
bayangkan kalau perempuan itu yang ada di posisiku? Apa dia akan menerima kata
maafmu?! Perempuan mana yang akan memaafkan pria jahat sepertimu!" Aku
memukul-mukul lengannya. Dia pun menarikku kedalam pelukannya. Aku memberontak.
Dia tetap berusaha memelukku untuk menenangkanku. "Aku siapa? Selama ini
untuk apa?"
"Maaf..."
--
Dua
minggu berlalu. Semua pesan, telfon dan email dari Rafa kuabaikan. Aku
membutuhkan banyak sekali waktu untuk bisa membuatku tenang. Trauma, aku masih
trauma dengan kejadian buruk yang menimpaku. Aku tidak pernah membayangkan
kalau aku akan mendapatkan cobaan sebesar ini. Hal ini benar-benar menguji
ketabahanku. Aku masih tidak bisa memaafkan Rafa. Setiap kali namanya muncul di
layar ponselku, aku ingin sekali menelan ponsel itu agar ia tak bisa lagi
mengusik hidupku yang sudah terlanjur hancur.
Air
mataku sudah mengering. Aku tidak mampu lagi untuk menangis. Bahkan ketika
akhirnya aku membaca salah satu pesannya, aku sama sekali tidak menangis.
Aku tahu aku salah, aku tahu. Sekarang aku sangat menyesal karena tidak bisa mengatakan
semua itu lebih awal. Semuanya sudah terlambat. Aku juga terluka melihat kamu terluka. Aku bukan pria
baik, aku bukan pemberani, dan aku adalah seorang pengecut. Maafkan aku, karena
telah menjadi egois.
Aku
harus berhenti memikirkan hal itu. Setelah kusia-siakan dua tahunku bersama
Rafa, aku harus melupakannya. Itu yang terbaik. Aku hanya bisa berharap kalau
Tuhan akan mengirimkan orang lain padaku. Pria baik dan apa adanya. Dan yang
terpenting adalah pria yang berani. Berani mengorbankan hidupnya untuk
melindungiku, berani mengambil resiko untuk menjaga hatiku yang kini menjadi
sangat rapuh ini dan berani untuk jujur
agar aku tidak terluka.
#END
._. what do you think?
ini sebenernya cerpen lama, maksudnya udah lama banget nangkring di Ms.Word hape saya, tapi baru sekarang kesampaian buat di publish.
Yang sudah baca, Arigatou ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
think before comment (: