we born to be HAPPY - welcome! read and get some inspiration :)

Kamis, 20 Juni 2013

My Fault? (Cerpen)



a short story by ; Aldilanita Safira
Genre ; Romance, Sad



Keraguan, ketidakpastian.. Semuanya akan berakhir tanpa kejelasan. Percayalah, lakukan sesuatu hanya bila kamu yakin akan hal itu. Jangan menjadi menyesal, seperti aku. 


--

"Jogja panas ya?"

"Ya. Seperti biasa." Jawabku datar. Dia berdehem lalu bergumam tak jelas. Aku memandang gelasku dengan tatapan kosong. Aku mainkan sendok kecil yang tercelup dalam cairan hitam pekat itu. Kopi. Entah sejak kapan hidupku menjadi sehitam warna kopi ini. Suram tanpa warna.  

Tiba-tiba dia berdiri sambil menenteng tasnya. "Aku duluan ya, ada urusan." Katanya. Aku hanya tersenyum. Dia masuk ke dalam mobilnya. Hanya dalam beberapa detik, dia sudah menghilang dari pandanganku. Aku pun meninggalkan tempat itu selagi aku masih bisa mengingat kemana aku harus pulang. Biasanya, dia selalu merusak memoriku. Membuat kelopak mataku berjuang mati-matian untuk menahan tangis. Lalu setelahnya, dia hanya mengucapkan 'maaf' dan pergi. Dia meninggalkan aku yang tak tahu lagi harus melakukan apa. Aku kehilangan arah, kehilangan semuanya. Aku hanya bisa terus berjalan, mengikuti kemana jalan pikiranku menginginkan aku pergi. Seperti orang bodoh, kan?

--

Terik matahari siang ini begitu menyengat. Panasnya menusuk-nusuk kepalaku. Pusing. Aku pun segera menaiki bis Jogja-Magelang yang baru saja berhenti di terminal. Aku duduk di kursi paling belakang.

Ku alihkan perhatianku pada pemandangan kota dibalik kaca jendela. Lalu kejadian kejadian di masa lalu berputar-putar di pikiranku. Seperti roll of film yang diputar, kini aku bernostalgia.

--

 Jogjakarta, 2011

Aku baru mengikuti serangkaian ospek di universitas tersohor di Jogja. UGM. Saking lelahnya, aku langsung terlelap begitu naik bis menuju kos-anku.

Drrt....drrtt

Klap!

"Ya? Mm..mm.. Aku hampir sampai." Aku memasukkan barang-barang bawaanku kedalam satu kantong plastik besar sembari mengusap-usap mataku yang masih setengah terbuka. Begitu selesai, aku baru merasakan ada seseorang yang tertidur di pundak kananku.

"Se..Senior Rafa?"

 -- 

Itulah awal dari hubunganku dengan seniorku, Rafa Nugraha. Kami sering bertemu dan mengobrol di kampus ketika ada kesempatan. Kami pun menjadi semakin dekat begitu semester tiga selesai.

"Kak Rafa suka sama aku atau tidak sih?" Begitulah pertanyaanku ketika ia hendak pulang ke Banten. Ia hanya tersenyum, lalu mengusap kepalaku.

"Aku sayang banget sama Riri. Aku cuma kangen rumah, tunggu disini ya?" Begitulah kiranya jawaban yang diberikan Rafa. 

Senang?

Awalnya aku sangat bungah begitu tahu dia juga memilki perasaan yang sama sepertiku. Namun, lambat laun bahagiaku terkikis oleh keraguan yang terus menghantui perasaanku. Semakin lama aku semakin ragu. Aku terus terjatuh dalam lubang ketidakpastian. Walaupun dia mengatakan 'sayang', itu sudah tidak ada gunanya lagi. Aku tetap ragu.

Kenapa?

Selama itu, kami terus bertemu, terus bertatap muka, terus bertukar pikiran, dan menghabiskan waktu bersama. Dan selama itupun, dia belum pernah menegaskan keseriusannya padaku. Menikah? Pacar pun dia belum pernah menyinggungnya. Dia memang menyayangiku. Aku pun begitu. Tapi, apa yang bisa menjadi jaminan kelak? Tak ada ikatan pasti dalam hubungan kami. Mungkin, itu satu alasan dari keraguanku.

Lalu di akhir tahun sekolahnya, dia semakin sulit ditemui. Tak pernah memberi kabar lagi. Aku kacau dan terluka.

Ah, aku masih ingat hari itu. Puncak dari semua kehancuranku saat ini. Aku bertemu ibunya di acara wisuda Rafa.

--

"Aku merindukanmu." Kataku. Dia mengusap kepalaku lalu berkata, "cantik sekali hari ini, ayo kesana." Dia menggenggam erat tanganku. Aku tersenyum. Benar-benar lega karena dia masih sama. Jauh dari firasatku sebelumnya.

Aku berjalan sambil terus memandangi wajah kak Rafa yang dipoles dengan sedikit make up. Sempurna, batinku.

Kami berhenti ketika Rafa tiba-tiba melepaskan tanganku. Mataku berisyarat, "Kenapa?" Lalu aku melihat seorang wanita paruh baya berjalan mendekati kami. Ia mengenakan kebaya merah, rambutnya disanggul jawa.

"Rafa, maaf ibu terlambat. Salonnya jauh dari sini." Katanya. Senyumannya begitu hangat. "Siapa ini? Cantik sekali." Katanya lagi. Aku? Maksudnya aku, kan? Aku baru akan menjawab ketika Rafa menyela, "Junior jurusan Psikolog bu, temanku." Begitu katanya. Aku menatapnya tak percaya. Teman? Hanya teman.. Ya?

"Oh begitu" ibunya kembali tersenyum, "Dinda sedang mengambil minum, coba kamu cari Fa." Lanjutnya.

Setelah cukup lama berdiri menunggu Rafa, aku dan ibunya pun duduk di kursi yang disediakan untuk para tamu.

"Maaf bu, Dinda itu siapa ya? Adik sepupu kak Rafa?" Selama aku mengenal Rafa, dia tidak pernah bercerita tentang seseorang bernama Dinda. Setahuku, Rafa adalah anak tunggal di keluarganya.

"Bukan, Dinda adalah tunangan Rafa."

Deg. Tunangan?

"Rafa belum cerita? Sejak dia masuk kuliah, keluarga kami dengan keluarga Dinda sudah sepakat untuk menjodohkan Rafa dengan Dinda. Bulan lalu Rafa pulang ke Banten untuk bertemu Dinda." Mataku sudah berair. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Nanti juga ketemu sama Dinda, dia juga lulusan psikologi. Bedanya dia lulusan universitas luar negeri." Tambahnya.

Aku mengatakan kalau ada teman yang menungguku diluar, lalu aku segera pergi dari tempat itu.

--

Bis berhenti sesampainya di Magelang. Aku segera turun dari bis. Aku masih memikirkan tentang masa-masa sulitku ketika aku menyusuri jalanan kota Magelang.

--

Rafa nampak sudah lelah dengan omelanku. Dia memegang bahuku lalu menyuruhku untuk mengangkat kepalaku dan melihat matanya. Aku terus menangis sambil memukul-mukul dadaku.

"Kenapa begini kak?" Kataku terbata-bata, "sejak awal kau sudah tahu soal perjodohan itu. Dan kau juga menyukai perempuan itu! Lalu kenapa kau memberiku harapan? Kau pikir aku tak punya perasaan hah?! Kau kira aku boneka?! Mainanmu?!"

"Dengarkan aku Ri," bug

Aku memukul perutnya. Tangan kananku gemetaran, lalu aku pun kembali menangis.
"Coba bayangkan kalau perempuan itu yang ada di posisiku? Apa dia akan menerima kata maafmu?! Perempuan mana yang akan memaafkan pria jahat sepertimu!" Aku memukul-mukul lengannya. Dia pun menarikku kedalam pelukannya. Aku memberontak. Dia tetap berusaha memelukku untuk menenangkanku. "Aku siapa? Selama ini untuk apa?"

"Maaf..."

--

Dua minggu berlalu. Semua pesan, telfon dan email dari Rafa kuabaikan. Aku membutuhkan banyak sekali waktu untuk bisa membuatku tenang. Trauma, aku masih trauma dengan kejadian buruk yang menimpaku. Aku tidak pernah membayangkan kalau aku akan mendapatkan cobaan sebesar ini. Hal ini benar-benar menguji ketabahanku. Aku masih tidak bisa memaafkan Rafa. Setiap kali namanya muncul di layar ponselku, aku ingin sekali menelan ponsel itu agar ia tak bisa lagi mengusik hidupku yang sudah terlanjur hancur.

Air mataku sudah mengering. Aku tidak mampu lagi untuk menangis. Bahkan ketika akhirnya aku membaca salah satu pesannya, aku sama sekali tidak menangis.

Aku tahu aku salah, aku tahu. Sekarang aku sangat menyesal karena tidak bisa mengatakan semua itu lebih awal. Semuanya sudah terlambat. Aku juga terluka melihat kamu terluka. Aku bukan pria baik, aku bukan pemberani, dan aku adalah seorang pengecut. Maafkan aku, karena telah menjadi egois.

Aku harus berhenti memikirkan hal itu. Setelah kusia-siakan dua tahunku bersama Rafa, aku harus melupakannya. Itu yang terbaik. Aku hanya bisa berharap kalau Tuhan akan mengirimkan orang lain padaku. Pria baik dan apa adanya. Dan yang terpenting adalah pria yang berani. Berani mengorbankan hidupnya untuk melindungiku, berani mengambil resiko untuk menjaga hatiku yang kini menjadi sangat rapuh ini dan berani untuk jujur agar aku tidak terluka.

#END

._. what do you think? 
ini sebenernya cerpen lama, maksudnya udah lama banget nangkring di Ms.Word hape saya, tapi baru sekarang kesampaian buat di publish. 

Yang sudah baca, Arigatou ^^  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

think before comment (: