we born to be HAPPY - welcome! read and get some inspiration :)

Sabtu, 13 April 2013

1st Cerpen; Last Conversation

Ni hao.
어떻게 당신은?(how are you, guys?) long time no see :) kinda missed my lovely blog. the empty one. keke
I HAD FREE TIME so i want to create short story for everyone. 

*note: big thanks to Intan Puji Lestari (my classmate) and KKI magazine, bcos of you all so i can show my first short story (cerpen) up to all students of smansa :) gomapta. i really thanked you sista, and that KKI.



=happy reading





The Last Conversation

Tap..tap..tap...
Suara langkah kaki laki-laki itu makin jelas terdengar. Ia menghampiri seorang gadis yang tengah jongkok di sebelah sepeda ontel tua. Sudut bibir gadis berjilbab itu tertarik ke atas seketika ia melihat sosok yang ia nanti sudah terlihat. Gadis itu pun bangkit.
“Maaf Binar, sudah lama disini?” tanya laki-laki itu.
“Tidak, baru sepuluh menit,” balas Binar.
**
Hembusan angin siang ini cukup membuat hawa panas Kota Jakarta menghilang untuk sementara. Binar merapatkan jaket yang ia kenakan. Laki-laki yang berjalan di sebelah Binar dibuatnya bingung. Biasanya ada banyak cerita atau lelucon yang keluar dari mulut Binar. Kadang tidak nyambung, tapi cukup untuk membuang penat laki-laki tersebut.
“Binar sakit?” Tanya laki-laki itu memecah keheningan.
“Sedikit pusing, tapi tidak apa-apa.”
Benarkah? Apakah karena pusing Binar menjadi terlihat berbeda hari ini? Rasa curiga muncul dalam benak laki-laki itu.
“Tidak perlu khawatir, Kak. Aku jadi pendiam begini bukan karena cemburu melihat Kak Dima mengantar pulang Kak Resti.” Kali ini suara lirih Binar terdengar begitu menyesakkan dada  Dima, laki-laki di samping Binar sekaligus laki-laki yang sudah dua tahun menjadi kekasih Binar.
Ternyata kamu sudah tahu, Bin.”

Hening---

Keduanya kini sudah sampai di ujung Jalan Melati Km.6. Binar mendorong pintu gerbang rumahnya dengan sisa energi yang ia miliki. Binar menoleh ke arah Dima yang masih berdiri di belakangnya.
“Kak Dima langsung pulang ya, benerin rantai sepedanya besok saja. Sekarang sudah jam lima lebih dua puluh, hampir maghrib,” kata Binar dengan senyum yang terlihat dipaksakan di akhir katanya. Dima tak membalas. Ia hanya terdiam melihat Binar yang kini sudah menghilang di balik pintu gerbang.
**

Dear diary..
Aku ingin bertemu kak Dima. Aku ingin melihat matanya. Aku ingin memastikan tak ada yang berubah dari tatapan mata Kak Dima, dari ekspresi wajah Kak Dima ketika sedang bersamaku. Hanya itu yang ingin kulakukan sekarang. Karena benar atau tidak, sekarang Kak Dima terasa lebih jauh...Ya, itu yang kurasakan.
**
“Binar, mau pulang bareng nggak?” Tanya Salsa, teman sebangku Binar.
Ia hanya tersenyum. “Tidak, kamu duluan aja, Sa.” Salsa terkekeh mendengarnya. Tentu saja, hanya Dima yang ingin Binar temui di jam pulang sekolah seperti ini. Memang Binar dan Dima satu sekolah, namun tidak menjanjikan keduanya bisa bertemu dan mengobrol.
**
“Oke, besok tinggal gue minta tanda tangan Pak Kris.”
Ok, gue pulang duluan ya, mau mampir apotek.”
Dima sampai di kasir dan hendak mengambil dompetnya ketika tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya.
“Dima?”
“Eh, Resti, lo disini? Udah sembuh?” Tanya Dima.
“Udah lumayan Dim, lo ngapain ke apotek? Siapa yang sakit?”
“Oh, ini vitamin buat Binar, kayaknya lagi musim flu, buat antisipasi aja.”
“Oh, gitu. Eh tunggu, tadi gue liat Binar. Masih pakai seragam.”
“Hah? Binar? Lo liat Binar di mana?”
“Itu, di taman kota samping sekolah.”
“Apa?!”
**
Hujan beserta angin sedikit demi sedikit menerobos pertahanan Binar. Bibirnya mulai membiru, wajah ayu Binar memucat, dan kini ia menggigil kedinginan.
“Kak Dima di mana? Lupa ya sama Binar, hiks..” Gumam Binar lirih. Ia tak menyangka dirinya benar-benar masih berada disini dan menunggu Dima. Tak berapa lama kemudian...
“Maaf Binar,” Dima memakaikan jaket ke punggung Binar, lalu ia terdiam cukup lama. Apa hanya maaf yang bisa kukatakan?
Mulut Binar sudah setengah terbuka, tapi ia urungkan niatnya untuk bicara.
“Tadinya mau marahin kamu, tapi lihat kondisi kamu sekarang, aku tunda.”
Binar bergeming, kepalanya masih tertunduk. Sulit untuk menatap Dima saat ini. Entahlah, hanya perasaan Binar saja atau memang  kenyataannya. Binar merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Hal yang bahkan tak berani Binar bayangkan, atau kira-kira.
1, 2, 3,...10 menit sudah berlalu. Hujan sudah reda. Aktifitas di sekitar taman kota pun kembali terlihat. Dima menarik lengan Binar, bermaksud mengajaknya meninggalkan tempat itu.
“Apa aku terlihat menyedihkan?”
“Apa maksudmu?”
Mata Binar mulai berkaca-kaca. Ia menghela nafasnya pelan. “Kenapa Kak Dima tidak menemuiku sepulang sekolah?” Dada Binar mulai sesak melihat Dima yang tak juga memberi respon.
“Kenapa tidak setiap hari saja Kak Dima membuatku menunggu!”
“Ayo pulang.” Genggaman tangan Dima semakin erat.
Kenapa kak Dima berubah? Binar masih enggan untuk melangkahkan kakinya. Beban pikirannya membuatnya tertahan di tempat itu.
“Berhenti bersikap kekanak-kanakan, kumohon Bin. Kamu kehujanan, bajumu basah. Bagaimana kalau kamu sakit?”
“Kak, aku nggak minta Kak Dima cemasin badanku, aku minta Kak Dima perhatiin perasaan aku.” Kata Binar masih membantah.
“Aku pikir sudah mengirimimu pesan kalau hari ini aku ada kerja kelompok, tapi sekarang aku baru ingat kalau handphone kamu lagi diservis.”
Kali ini Binar memberanikan diri untuk menatap mata Dima. Mencari kebenaran di setiap kata yang Dima ucapkan.
“Aku tahu dari Resti kalau kamu ada disini, maaf soal Resti. Aku sama dia benar-benar cuma teman, Bin.”
“Lalu, ada apa sama Kak Dimaku yang dulu? Pelupa, sering melamun, semua yang kakak lakuin kemarin-kemarin itu bukan Kak Dima-ku.”
Everything has changed, Bin.”
Binar mencoba menahan air matanya untuk tidak terjatuh. Kak Dima bilang apa barusan?”
**
Sekarang Binar sudah kelas 3 SMA. Ia merapikan meja belajarnya yang dipenuhi dengan buku-buku dan latihan soal UN.
22.00 pm
Binar merebahkan tubuhnya ke atas ranjang empuk berbalut seprai polkadot berwarna merah. Ia pejamkan kedua matanya, berdoa.
“Ya Allah, lindungi saat aku tidur. Juga, tolong jaga seseorang yang sekarang sudah bermil-mil jauhnya dari Binar.”
**
3 Months ago~
Langit semakin gelap, udara dingin pun masih enggan untuk pergi. Binar menangis. Ia butuh penjelasan lebih dari Dima.
“Aku memang berubah Bin, aku akui itu. Bukan karena Resti atau kamu. Ini keputusanku.”
“Soal apa, Kak? Kenapa tak pernah lagi memberitahu Binar soal apapun? Binar ini pacar kak Dima, bukan pajangan!”
“Cukup Bin, aku punya alasan. Aku cuma belum nemuin waktu yang tepat buat ngomong. Biarin aku nganterin kamu pulang dulu sekarang, besok kita bicarain lagi.”
“Nggak, Binar nggak mau! Binar udah nggak tahan, Kak! Mikir perubahan Kak Dima udah cukup bikin Binar jadi nggak konsen belajar. Memang, aku masih kecil, masih kelas dua, belum 17 tahun! Jadi maaf, Binar nggak bisa pisahin mana waktunya buat serius belajar, mana waktunya buat mikir yang lain. Aku memang gini, Kak! Bodoh! Binar bodoh!”
Perlahan, Dima melepaskan genggaman tangannya. Sinar matanya sangat mendalam, sedih dan terluka. Saat ini itu yang ia rasakan.
“Binar, aku ketemu kamu 4 tahun yang lalu. Kamu selalu bawa kebahagiaan buat semua orang disekeliling kamu, termasuk aku. Apa bedanya sama Binar yang sekarang? Kamu masih Binar yang childish, Binar yang panikan, dan kamu masih Binar-ku. Aku nggak ingin kamu berubah jadi Binar yang lain.”
Bulir-bulir air mata Binar kembali jatuh. Setelah Dima mengatakan itu semua, kenapa dadanya semakin sesak?
“Dengerin aku ya Bin, setelah lulus, aku pindah ke Jogja, ambil S1 kedokteran, InsyaAllah. Dan kamu masih harus belajar lagi satu tahun disini. Aku minta kamu fokus di jurusanmu sekarang. Aku juga mau serius sama UN besok.”
Binar hanya menatap Dima tanpa sepatah kata pun. Dima tampak dengan susah payah menarik nafasnya dalam-dalam.
“Mulai minggu depan, aku pindah ke pondok. Kita nggak bisa berangkat bareng lagi. Aku nggak bisa nganter kamu pulang lagi.”
Waktu serasa terhenti. Inikah? Inikah yang selama ini Dima pendam? Inikah yang membuatnya mencari-cari waktu yang tepat untuk mengatakannya agar aku bisa mengerti? Agar aku tidak menangis?
“Islam ngajarin kita buat saling menyayangi satu sama lain, kan? Entah kenapa aku punya feeling kalau kita berjodoh Bin, karena aku cuma sayang sama Binar. Mungkin mulai besok diantara kita udah nggak ada ikatan apapun, tapi kalau aku nanti udah sukses. Aku bakal nyari Binar. Dimanapun Binar, aku pasti cari, sampai dapet.”
Binar mengusap air mata di pipinya.
“Kalau udah nemuin Binar, mau diapain?” kata Binar dengan polosnya.
“Dima bakal nikahin Binar.”
“Perasaan manusia kapan saja bisa berubah Kak, sekarang kak Dima bilang gini, besok? Dua tahun lagi?”
Tangan Dima bergerak menyentuh pipi Binar. Tentu, ini pertama kalinya Dima menyentuh wajah Binar. Dima menatap dalam mata Binar.
“Binar Candrawati, sampai sekarang cuma kamu gadis diantara sekian banyak gadis yang ingin Dima selalu lihat, cuma Binar yang ingin Dima buat senang. Cuma Binar yang ingin Dima lindungi. Bagaimana sekarang? Percaya sama aku?”
Seulas senyum terbit di wajah Binar. Ia hanya mengangguk pelan.
“Sekarang, ayo kita pulang.”
**
Jan, 13th 2013
Sinar matahari masuk ke dalam kamar Binar melalui celah-celah kain korden. Setelah selesai memakai jilbab, Binar menekan tombol play di handphonenya.
“Binar, selalu semangat ya! Have a nice day!”
Suara berat yang keluar dari speaker handphone itu, milik Dima.
Last Conversation, Oct 12th 2012
-to be continue-

my inspired is Intan P.J /big hug/
 



2 komentar:

think before comment (: