어떻게 당신은?(how are you, guys?) long time no see :) kinda missed my lovely blog. the empty one. keke
I HAD FREE TIME so i want to create short story for everyone.
*note: big thanks to Intan Puji Lestari (my classmate) and KKI magazine, bcos of you all so i can show my first short story (cerpen) up to all students of smansa :) gomapta. i really thanked you sista, and that KKI.
=happy reading♥=
The Last Conversation
Tap..tap..tap...
Suara langkah kaki laki-laki itu makin jelas terdengar. Ia menghampiri
seorang gadis yang tengah jongkok di sebelah sepeda ontel tua. Sudut bibir
gadis berjilbab itu tertarik ke atas seketika ia melihat sosok yang ia nanti
sudah terlihat. Gadis itu pun bangkit.
“Maaf Binar,
sudah lama disini?” tanya laki-laki itu.
“Tidak, baru
sepuluh menit,” balas Binar.
**
Hembusan angin siang ini cukup membuat hawa panas Kota Jakarta menghilang
untuk sementara. Binar merapatkan jaket yang ia kenakan. Laki-laki yang berjalan di
sebelah Binar dibuatnya bingung. Biasanya ada banyak cerita atau lelucon yang keluar dari
mulut Binar. Kadang tidak nyambung, tapi cukup untuk membuang penat laki-laki
tersebut.
“Binar sakit?”
Tanya laki-laki itu memecah keheningan.
“Sedikit
pusing, tapi tidak apa-apa.”
Benarkah?
Apakah karena pusing Binar menjadi terlihat berbeda hari ini? Rasa curiga muncul dalam benak laki-laki
itu.
“Tidak perlu
khawatir, Kak. Aku jadi pendiam begini bukan karena cemburu melihat Kak Dima
mengantar pulang Kak Resti.” Kali ini suara lirih Binar terdengar begitu
menyesakkan dada Dima, laki-laki di
samping Binar sekaligus laki-laki yang sudah dua tahun menjadi kekasih Binar.
“Ternyata kamu sudah tahu, Bin.”
Hening---
Keduanya kini
sudah sampai di ujung Jalan Melati Km.6. Binar mendorong pintu gerbang rumahnya
dengan sisa energi yang ia miliki. Binar menoleh ke arah Dima yang masih
berdiri di belakangnya.
“Kak Dima
langsung pulang ya, benerin rantai sepedanya besok saja. Sekarang sudah jam
lima lebih dua puluh, hampir maghrib,” kata Binar dengan senyum yang terlihat
dipaksakan di akhir katanya. Dima tak membalas. Ia hanya terdiam melihat Binar yang
kini sudah menghilang di balik pintu gerbang.
**
Dear
diary..
Aku ingin bertemu kak Dima. Aku ingin melihat matanya. Aku ingin memastikan tak ada
yang berubah dari tatapan mata Kak Dima, dari ekspresi wajah Kak Dima ketika
sedang bersamaku. Hanya itu yang ingin kulakukan sekarang. Karena benar atau tidak,
sekarang Kak Dima terasa lebih jauh...Ya, itu yang kurasakan.
**
“Binar, mau pulang bareng nggak?” Tanya Salsa, teman sebangku Binar.
Ia hanya
tersenyum. “Tidak, kamu duluan aja, Sa.” Salsa terkekeh mendengarnya. Tentu saja, hanya Dima yang
ingin Binar temui di jam pulang sekolah seperti ini. Memang Binar dan Dima satu
sekolah, namun tidak menjanjikan keduanya bisa bertemu dan mengobrol.
**
“Oke, besok tinggal gue minta tanda tangan Pak Kris.”
“Ok, gue pulang duluan ya, mau
mampir apotek.”
Dima sampai di
kasir dan hendak mengambil dompetnya ketika tiba-tiba ada seseorang yang
menepuk bahunya.
“Dima?”
“Eh, Resti, lo
disini? Udah sembuh?” Tanya Dima.
“Udah lumayan
Dim, lo ngapain ke apotek? Siapa yang sakit?”
“Oh, ini
vitamin buat Binar, kayaknya lagi musim flu, buat antisipasi aja.”
“Oh, gitu. Eh
tunggu, tadi gue liat Binar. Masih pakai seragam.”
“Hah? Binar?
Lo liat Binar di mana?”
“Itu, di taman
kota samping sekolah.”
“Apa?!”
**
Hujan beserta angin sedikit demi sedikit menerobos pertahanan Binar.
Bibirnya mulai membiru, wajah ayu Binar memucat, dan kini ia menggigil
kedinginan.
“Kak Dima di
mana? Lupa ya sama Binar, hiks..” Gumam Binar lirih. Ia tak menyangka dirinya
benar-benar masih berada disini dan menunggu Dima. Tak berapa lama kemudian...
“Maaf Binar,” Dima memakaikan jaket ke
punggung Binar, lalu ia terdiam cukup lama. Apa hanya maaf yang bisa
kukatakan?
Mulut Binar
sudah setengah terbuka, tapi ia urungkan niatnya untuk bicara.
“Tadinya mau
marahin kamu, tapi lihat kondisi kamu sekarang, aku tunda.”
Binar
bergeming, kepalanya masih tertunduk. Sulit untuk menatap Dima saat ini.
Entahlah, hanya perasaan Binar saja atau memang
kenyataannya. Binar merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Hal yang
bahkan tak berani Binar bayangkan, atau kira-kira.
1, 2, 3,...10 menit sudah berlalu. Hujan sudah reda. Aktifitas di sekitar
taman kota pun kembali terlihat. Dima menarik lengan Binar, bermaksud
mengajaknya meninggalkan tempat itu.
“Apa aku
terlihat menyedihkan?”
“Apa maksudmu?”
Mata Binar
mulai berkaca-kaca. Ia menghela nafasnya pelan. “Kenapa Kak Dima tidak
menemuiku sepulang sekolah?” Dada Binar mulai sesak melihat Dima yang tak juga
memberi respon.
“Kenapa tidak setiap
hari saja Kak Dima membuatku menunggu!”
“Ayo pulang.”
Genggaman tangan Dima semakin erat.
“Kenapa kak
Dima berubah?” Binar masih enggan untuk
melangkahkan kakinya. Beban pikirannya membuatnya tertahan di tempat itu.
“Berhenti bersikap
kekanak-kanakan, kumohon Bin. Kamu kehujanan, bajumu basah. Bagaimana kalau
kamu sakit?”
“Kak, aku
nggak minta Kak Dima cemasin badanku, aku minta Kak Dima perhatiin perasaan
aku.” Kata Binar masih membantah.
“Aku pikir
sudah mengirimimu pesan kalau hari ini aku ada kerja kelompok, tapi sekarang
aku baru ingat kalau handphone kamu lagi diservis.”
Kali ini Binar
memberanikan diri untuk menatap mata Dima. Mencari kebenaran di setiap kata
yang Dima ucapkan.
“Aku tahu dari
Resti kalau kamu ada disini, maaf soal Resti. Aku sama dia benar-benar cuma
teman, Bin.”
“Lalu, ada apa
sama Kak Dimaku yang dulu? Pelupa, sering melamun, semua yang kakak lakuin
kemarin-kemarin itu bukan Kak Dima-ku.”
“Everything has changed, Bin.”
Binar mencoba
menahan air matanya untuk tidak terjatuh. Kak
Dima bilang apa barusan?”
**
Sekarang Binar sudah kelas 3 SMA. Ia merapikan meja belajarnya yang
dipenuhi dengan buku-buku dan latihan soal UN.
22.00 pm
Binar
merebahkan tubuhnya ke atas ranjang empuk berbalut seprai
polkadot berwarna merah. Ia pejamkan kedua matanya, berdoa.
“Ya Allah, lindungi saat aku tidur. Juga, tolong jaga
seseorang yang sekarang sudah bermil-mil jauhnya dari Binar.”
**
3 Months
ago~
Langit semakin gelap, udara dingin pun masih enggan untuk pergi. Binar
menangis. Ia butuh penjelasan lebih dari Dima.
“Aku memang
berubah Bin, aku akui itu. Bukan karena Resti atau kamu. Ini keputusanku.”
“Soal apa, Kak?
Kenapa tak pernah lagi memberitahu Binar soal apapun? Binar ini pacar kak Dima,
bukan pajangan!”
“Cukup Bin, aku punya alasan. Aku
cuma belum nemuin waktu yang tepat buat ngomong. Biarin aku nganterin kamu
pulang dulu sekarang, besok kita bicarain lagi.”
“Nggak, Binar
nggak mau! Binar udah nggak tahan, Kak! Mikir perubahan Kak Dima udah cukup
bikin Binar jadi nggak konsen belajar. Memang, aku masih kecil, masih kelas
dua, belum 17 tahun! Jadi maaf, Binar nggak bisa pisahin mana waktunya buat serius belajar,
mana waktunya buat mikir yang lain. Aku memang gini, Kak! Bodoh! Binar bodoh!”
Perlahan, Dima melepaskan genggaman tangannya. Sinar matanya sangat mendalam,
sedih dan terluka. Saat ini itu yang ia rasakan.
“Binar, aku
ketemu kamu 4 tahun yang lalu. Kamu selalu bawa kebahagiaan buat semua
orang disekeliling kamu, termasuk aku. Apa bedanya sama Binar yang sekarang?
Kamu masih Binar yang childish, Binar yang panikan, dan kamu masih
Binar-ku. Aku nggak ingin kamu berubah jadi Binar yang lain.”
Bulir-bulir
air mata Binar kembali jatuh. Setelah Dima mengatakan itu semua, kenapa dadanya semakin
sesak?
“Dengerin aku
ya Bin, setelah lulus, aku pindah ke Jogja, ambil S1 kedokteran, InsyaAllah. Dan kamu masih harus belajar lagi satu
tahun disini. Aku minta kamu fokus di jurusanmu sekarang. Aku juga mau serius sama UN besok.”
Binar hanya
menatap Dima tanpa sepatah kata pun. Dima tampak dengan susah payah
menarik nafasnya dalam-dalam.
“Mulai minggu
depan, aku pindah ke pondok. Kita nggak bisa berangkat bareng lagi. Aku nggak
bisa nganter kamu
pulang lagi.”
Waktu serasa terhenti. Inikah?
Inikah yang selama ini Dima pendam? Inikah yang membuatnya mencari-cari
waktu yang tepat untuk mengatakannya agar aku bisa mengerti? Agar aku tidak
menangis?
“Islam ngajarin
kita buat saling menyayangi satu sama lain, kan? Entah kenapa aku punya feeling
kalau kita berjodoh Bin, karena aku cuma sayang sama Binar. Mungkin mulai besok
diantara kita udah nggak ada ikatan apapun, tapi kalau aku nanti udah sukses.
Aku bakal nyari Binar. Dimanapun Binar, aku pasti cari, sampai dapet.”
Binar mengusap
air mata di pipinya.
“Kalau udah
nemuin Binar, mau diapain?” kata Binar
dengan polosnya.
“Dima bakal
nikahin Binar.”
“Perasaan manusia
kapan saja bisa berubah Kak, sekarang kak Dima bilang gini, besok? Dua tahun
lagi?”
Tangan Dima
bergerak menyentuh pipi Binar. Tentu, ini pertama kalinya Dima menyentuh wajah
Binar. Dima
menatap dalam mata Binar.
“Binar
Candrawati, sampai sekarang cuma kamu gadis diantara sekian banyak gadis yang
ingin Dima selalu lihat, cuma Binar yang ingin Dima buat senang. Cuma Binar
yang ingin Dima lindungi. Bagaimana sekarang? Percaya sama aku?”
Seulas senyum
terbit di wajah Binar. Ia hanya mengangguk pelan.
“Sekarang, ayo
kita pulang.”
**
Jan, 13th 2013
Sinar matahari masuk ke dalam kamar Binar melalui celah-celah kain
korden. Setelah selesai memakai jilbab, Binar menekan tombol play di handphonenya.
“Binar, selalu
semangat ya! Have a nice day!”
Suara berat
yang keluar dari speaker handphone itu, milik Dima.
“Last Conversation, Oct 12th 2012”
-to be continue-
my inspired is Intan P.J /big hug/
binar itu kelas 2 ato 3?,
BalasHapusmaaf telat bales wkk
BalasHapuskelas 2 SMA :) yg kelas 3 itu Dima