my... short story. inspirated by someone's status on fb, LOL
okay. lets see what's your opinion about this story ^^
++
Hidup.
Apa itu hidup?
Bagaimana bisa kita terlahir ke dunia ini tanpa tahu apa itu
hidup yang sebenarnya?
Bagaimana seharusnya kita menjalani hidup?
Apakah semua kebahagiaan ada disana?
Atau, hidup hanyalah tempat untuk menangis, meratapi nasib, terpuruk,
dan terjatuh dalam masalah?
Adakah definisi dari hidup yang dapat membuatku hidup dengan
benar?
Serumit dan setidakmenyenangkannya hidup, toh sekarang aku
hidup. Mau bagaimana lagi? Aku akan menjalaninya. Sesuai apa yang sudah ada di
hidupku.
-Rainy day-
Sore ini hujan turun. Sangat deras. Aku mencoba mengajaknya
bicara dalam suara bisingnya.
"Hujan, siapa yang mengirimmu?" Drrsss... Hanya
itu yang kudengar. Aku mencobanya lagi, mungkin ia tak mendengarnya.
"Hujan, apa langit yang menurunkanmu kesini?"
Drrssss... Itu lagi. Terdengar dengan sangat jelas suara hujan dibalik jendela
kamarku. Aku menatapnya. Lalu terdiam cukup lama.
"Ah," aku mengerjapkan mataku, lalu duduk di atas
meja belajarku. Bersandar pada rangkaian besi hitam yang terpasang di jendela.
"Mau dengar ceritaku?" Drsss... "Tak perlu dijawab, kau hanya
perlu mendengarkanku. Bagaimana?" Rintikan hujan sedikit mereda. Aku
tersenyum.
++
“Ada apa dengan kalian semua?” tanyaku. Sepulang sekolah
teman-temanku, dalam hal ini adalah sahabatku, mereka mengajakku untuk
berkumpul di Lobby, tempat karaoke yang cukup ramai dikunjungi anak muda di
kota ini.
Aku, Yura, dan Mentari bersekolah di SMA yang sama. Sekolah
unggul di kota ini. Tepatnya mantan RSBI. Sedangkan Adrianna, dia harus
terpisah dari kami karena entah itu kesalahannya saat mengerjakan tes masuk SMA
atau memang begitu jalan hidupnya. Adrianna masuk jurusan IPA di sekolahnya.
Mengetahuinya, aku sedikit lega. Lambat laun dia pasti akan bisa mandiri. Toh
semua dari kami akan hidup sendiri nantinya. Tentu dengan jalan kami
masing-masing.
“Hm,” Aku berdehem, sungguh, aku bingung dengan situasi
seperti saat ini. Ini tempat karaoke, kan? Kenapa kita tidak menyanyi? Sesampainya disana, kami memesan beberapa jus dan cemilan.
Lalu ketika aku mengusulkan beberapa lagu yang ingin kunyanyikan.. Muram. Semua
wajah sahabatku terlihat tak bersemangat. Aku pun memutuskan untuk ikut hanyut
dalam keheningan di ruangan yang beroleskan gambar awan di dindingnya.
“Apa itu hidup?”
Aku langsung menoleh ke arah Mentari. Apa yang dia katakan?
“Apa itu bahagia?” Sahut Yura. Aku menolehkan wajahku ke
Yura. Dia hanya mengatakannya, lalu kembali terdiam. Aku menatap mereka berdua
bergantian. Lalu perhatianku teralihkan pada Adrianna yang tiba-tiba menyentuh
tanganku. Tangan kecil itu terasa dingin. Jantungku berdegup dengan cepat. Apa
arti dari semua ini? Apa yang sedang terjadi disini?
Satu jam telah berlalu. Waktu berjalan sangat lambat menurutku.
Aku benci perasaan seperti ini. Ketika mereka menampakkan wajah pilu itu,
ketika mereka berbicara dalam diam, ketika mereka saling mengerti akan
kesulitan yang mereka hadapi hanya dengan saling memandang. Aku benci karena
aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tidak ada satupun yang aku
mengerti. Aku hanya bisa diam, menunggu mereka mau menjelaskan semuanya padaku.
Dua jam sudah kami berempat duduk diam di tempat ini.
Atmosfer di ruangan ber-AC ini semakin membuatku kesal. Aku menghela nafasku
dengan berat, lalu aku pun berdiri. Tak ada respon dari sahabatku. Aku
mengambil remote yang tergeletak di atas meja dengan gusar, lalu menekan tombol
secara acak. “Yura! Kau memegang mic, tapi kenapa diam saja?” kataku dengan
nada tinggi, “Mentari! Kau juga memegang mic kan? Cepat bernyanyi! Atau aku
saja yang bernyanyi, hah?” kataku dengan nada yang lebih tinggi. Mereka masih
bergeming. Lalu aku melihat cairan bening sudah akan menetes dari ujung mata
Yura. Aku menekan-nekan tombol lagi dengan brutal. “Anna! Kenapa diam saja?!
Bantu aku memilih lagu. Lagu mana yang kau suka?” kataku sembari melempar buku
berisi daftar lagu kepada Adrianna. Mentari menatapku dengan tatapan sendu,
Adrianna hanya menunduk, dan Yura sudah terjatuh dalam lubang tangis.
“Arrgghhh! Ayo kita lakukan sesuatu!!” Wajahku mulai terasa
panas. Isak tangis Yura semakin terdengar. Aku pun menundukkan kepalaku. Remote
itu terjatuh dari genggaman tanganku. Aku menyerah.
“Aku bosan. Aku ingin keluar dari sini. Aku ingin hidupku berubah.
Aku tak mau berjuang lagi. Hiks, aku lelah dengan semuanya.” Kata Mentari. Ia
pun sekarang ikut menangis, Yura memeluk tubuh lemas Mentari. “Aku merindukan
ibuku..” katanya lagi. Kalau saja aku sudah menekan tombol ‘Play’ lalu musik
sudah mendominasi ruangan ini, mungkin aku sama sekali tidak akan bisa
mendengar kalimat yang dikatakan oleh Mentari tadi. Aku merindukan ibuku. Mentari merindukan ibunya…
Aku melirik Adrianna yang masih menunduk. Ada ribuan kata
yang tak terdengar dari sana. Pikirku.
“Aku benci mama, papa dan semuanya yang terjadi di
keluargaku. Aku sangat benci sampai-sampai aku tidak ingin peduli lagi dengan
mereka. Mereka sudah merenggut kebahagiaanku yang bahkan belum sempat
kurasakan. Dan lagi..” Yura mempererat pelukannya pada Mentari. “Setelah aku
kehilangan dia, kebahagiaan yang baru saja mendatangiku langsung lenyap
seketika. Hatiku hancur.. Semuanya menjadi pecahan yang tak bisa lagi
kurangkai. Apa sebenarnya yang Tuhan ingin aku lakukan? Aku bangkit dari
keterpurukan masa lalu, berjuang perlahan-lahan, lalu ketika kebahagiaan sudah
kugenggam.. lenyap. Tak bersisa.” Tambahnya. Tanganku gemetaran mendengarnya.
Ia benar-benar mencurahkan semua kisahnya hanya dalam rangkaian kata sederhana.
Walau begitu, aku mengerti apa yang dia maksud. Tentu, aku dan semuanya yang
ada di ruangan ini tahu benar apa yang terjadi pada Yura.
Aku melirik Adrianna lagi, perlahan dia mengangkat wajahnya.
Deraian air mata nampak membekas di pipinya. “Aku..” dia mendesah, lalu membuka
lembaran demi lembaran buku yang ada di pangkuannya. “Aku baik-baik saja.”
“Katakan saja, kami akan mendengarkanmu.” Kata Yura.
“Awalnya aku memang baik-baik saja. Setelah aku mulai
menjalani kehidupanku tanpa kalian, sedikit demi sedikit, aku jatuh. Aku
kehilangan banyak energi yang selama ini kudapatkan dari tawa kalian, nasihat
kalian, dan kehidupan kita dulu. Aku hancur, sama hancurnya dengan perasaan
kalian saat kalian kehilangan orang yang tersayang. Banyak tekanan dari orang
tua yang kudapat, adik satu-satunya hanya menambah beban pikiranku, lalu
teman-teman di lingkungan baruku.. mereka hanya berlagak peduli, tapi
sebenarnya mereka hanya membantuku menuju kehancuran. Aku tidak bisa terus
seperti ini, kan? Aku merasa sangat menyedihkan..” speechless. Ini kali pertamanya aku mendengar seorang Adrianna
berbicara dengan semua kalimat rumit itu. Aku dekat dengannya, mungkin bisa
dikatakan akulah yang paling dekat dengan Adrianna. Tapi tak pernah sekalipun
aku mendengar semua keluhan itu. Belum pernah sama sekali.
Bibirku bergetar. Ah.. Bagaimana bisa aku berkeringat di
suhu rendah seperti ini? Aku gila. Nyaris berteriak. Aku berbalik lalu menutup
wajahku dengan kedua telapak tanganku. Jujur, aku ingin menangis. Setelah
mendengar semuanya, aku merasa sakit. Aku merasa lubang dalam diriku semakin
menganga. Aku menyentuh kenop pintu, berniat untuk keluar dari ruangan ini
secepatnya. Namun aku malah berbalik, lalu memandangi satu persatu sahabatku
yang masih duduk disana.
“Hey,” mereka balik menatapku, Yura mengusap air matanya.
“Dunia memang begini, dari dulu sampai sekarang. Bahkan
sampai nanti akan tetap penuh dengan cobaan. Kadang kita akan menemukan
kebahagiaan di sela-sela kesulitan, kadang juga akan menemui kesakitan tak
berujung. Aku mungkin lebih beruntung dari kalian, karena aku tidak semenderita
kalian, tapi percayalah kalau aku ada diantara kalian itu untuk menguatkan
kalian. Maaf aku belum bisa menjadi orang yang lebih kuat untuk kalian, maaf.”
Jelasku. Adrianna menangis, tangannya meremas kertas yang sedang ia pegang.
Yura dan Mentari hanya menatapku, memahami apa yang aku coba katakan.
“Yang aku tahu dari hidup ini adalah kita harus terus hidup.
Bagaimanapun sulitnya, tetaplah berjuang untuk hidup. Kalau kita tetap sabar
dan terus menanti, pasti kelak kita akan bertemu dengan kebahagiaan kita. Tuhan
hanya menundanya sekarang, dan kebahagiaan itu akan datang seiring kerja keras
kita. Percayalah.” Kataku. Aku tidak tahu apa yang baru saja keluar dari
mulutku. Yang kutahu, setelah ini aku akan ikut berjuang bersama mereka. Aku
akan berlatih agar menjadi lebih kuat dari mereka. Jadi, aku bisa melindungi
mereka. “Kumohon tetaplah hidup, ya? Bukan untuk apa-apa, melainkan untuk aku
dan demi persahabatan kita. Bisa kan?” Kataku lagi. Aku tersenyum lalu
berbalik. Baiklah, aku akan keluar dari sini lalu memulai semuanya dari awal.
Aku. Ada. Untuk. Mereka.
++
Drrrssshh
“Setelah kami lulus, semuanya berubah.” Kataku. Aku bicara
banyak hal pada hujan hari ini. Hujan masih belum reda, suara khas-nya adalah
melodi penenang jiwa bagiku. “Menjadi lebih baik.” Lanjutku.
Setelah lulus, kami
berpisah. Tapi ikatan diantara kami masih kuat.
Sekarang Mentari
adalah mahasiswi di politekkes Bandung.
Yura memulai karirnya
di UGM. Banyak perusahaan yang berminat pada Yura bahkan sebelum Yura lulus
dari sana.
Lalu Adrianna, seperti
saranku beberapa tahun lalu, dia sekarang sekolah di universitas terkenal di
Semarang. Calon bidan.
Aku..
Aku sekarang disini. Dirumahku. Aku mengambil libur panjang
dari aktivitas panjang dan melelahkan itu. Aku calon psikolog. Dua semester
lagi aku akan lulus. Tapi disaat-saat sibuk seperti ini, aku lebih memilih
untuk pulang dan tinggal di rumah untuk sementara.
Aku lelah.
Untuk apa aku mendalami ilmu psikologi kalau aku sendiri
tidak bisa memahami apa yang terjadi pada diriku sendiri? Aku memiliki keluarga
yang amat sangat sempurna. Namun aku terlambat untuk menyadari itu semua.
Setelah hidup sendiri, aku baru merasakan bahwa hidup tanpa orang-orang rumah
adalah sangat sulit. Mereka berlalu-lalang, kesana-kemari melewati pintu
kamarku. Dulu aku adalah seorang yang tidak tahu menahu soal apapun yang
terjadi di rumah. Aku hanya peduli dengan hidupku dan angan-anganku. Baiklah,
sekarang pun aku masih hidup dengan mereka. Hidup dan angan-angan. Aku sama
sekali tidak bahagia dengan semua itu sekarang. Aku ingin memutar kembali
waktu, pulang ke rumah sebagai remaja berumur 16 tahun. Aku ingin melewati
semuanya bersama keluargaku.
“Hujan, sekarang hidup dirumah pun tidak sebahagia apa yang
ada di bayanganku. Waktu dan keegoisanku telah mengubah semuanya. Aku bisa
melindungi mereka, tapi tidak dengan hidupku sendiri. Aku masih hidup sampai
saat ini, tapi ragaku sudah mati. Bagaimana menurutmu?” Hujan masih enggan
memberi komentar. Aku mulai menangis. “Aku ingin memiliki perasaan seperti dulu
ketika aku ingin berjuang untuk hidup. Walaupun akan berbeda, hanya dengan
memiliki perasaan itu saja sudah membuatku senang.” Kilauan kilat baru saja
menyapa langit.
Knock knock
Aku berjalan menuju ruang tamu, ketika kubuka pintu rumahku,
aku mendapati seseorang tengah berdiri di bawah hujan sembari membawa banner
bertuliskan..
“Riri”
Aku berjalan mendekatinya, heran. Apa yang dia lakukan? Dia
menunjukkan banner lain padaku. Aku hanya melongo. Dia tersenyum, “Maaf aku
terlambat. Sekarang aku sudah cukup kuat untuk mengabulkan semua permintaanmu.
Kamu ingin bahagia, aku juga menginginkan hal yang sama. Hiduplah denganku,
Riri.”
Aku masih menatapnya tak percaya. Itu Sam? Bagian dari masa
laluku? Orang yang dulu berkata ingin membuatku bahagia, tapi malahan
sebaliknya? Itu benar dia? Aku melihat banner yang ia genggam. “Marry Me”
Hujan perlahan mulai mereda. Aku memintanya untuk
mengatakannya sekali lagi.
“Menikahlah denganku.” Katanya dengan suara lantang.
Kupejamkan mataku.
Sesakit apapun masa
laluku bersama dia, sampai sekarang aku masih memercayainya. Aku percaya kalau
hanya dia yang bisa kupegang kata-katanya. Aku selalu percaya bahwa hanya dia
yang bisa melindungiku. Dan aku percaya kalau hanya dia yang kubutuhkan untuk menutupi
semua kesalahanku di masa lampau.
#End
is that a happy ending? hope i and my bestie get the same destination. But i prefer be a doctor than psycholog xD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
think before comment (: