we born to be HAPPY - welcome! read and get some inspiration :)

Minggu, 19 Mei 2013

Live (Cerpen Persahabatan)



my... short story. inspirated by someone's status on fb, LOL
okay. lets see what's your opinion about this story ^^

++


Hidup.
Apa itu hidup?
Bagaimana bisa kita terlahir ke dunia ini tanpa tahu apa itu hidup yang sebenarnya?
Bagaimana seharusnya kita menjalani hidup?
Apakah semua kebahagiaan ada disana?
Atau, hidup hanyalah tempat untuk menangis, meratapi nasib, terpuruk, dan terjatuh dalam masalah?
Adakah definisi dari hidup yang dapat membuatku hidup dengan benar?
Serumit dan setidakmenyenangkannya hidup, toh sekarang aku hidup. Mau bagaimana lagi? Aku akan menjalaninya. Sesuai apa yang sudah ada di hidupku.

-Rainy day-

Sore ini hujan turun. Sangat deras. Aku mencoba mengajaknya bicara dalam suara bisingnya.
"Hujan, siapa yang mengirimmu?" Drrsss... Hanya itu yang kudengar. Aku mencobanya lagi, mungkin ia tak mendengarnya.

"Hujan, apa langit yang menurunkanmu kesini?" Drrssss... Itu lagi. Terdengar dengan sangat jelas suara hujan dibalik jendela kamarku. Aku menatapnya. Lalu terdiam cukup lama.

"Ah," aku mengerjapkan mataku, lalu duduk di atas meja belajarku. Bersandar pada rangkaian besi hitam yang terpasang di jendela. "Mau dengar ceritaku?" Drsss... "Tak perlu dijawab, kau hanya perlu mendengarkanku. Bagaimana?" Rintikan hujan sedikit mereda. Aku tersenyum.
Cerita ini adalah aku, teman-temanku, hidupku, dan kehidupan mereka.



++

“Ada apa dengan kalian semua?” tanyaku. Sepulang sekolah teman-temanku, dalam hal ini adalah sahabatku, mereka mengajakku untuk berkumpul di Lobby, tempat karaoke yang cukup ramai dikunjungi anak muda di kota ini.

Aku, Yura, dan Mentari bersekolah di SMA yang sama. Sekolah unggul di kota ini. Tepatnya mantan RSBI. Sedangkan Adrianna, dia harus terpisah dari kami karena entah itu kesalahannya saat mengerjakan tes masuk SMA atau memang begitu jalan hidupnya. Adrianna masuk jurusan IPA di sekolahnya. Mengetahuinya, aku sedikit lega. Lambat laun dia pasti akan bisa mandiri. Toh semua dari kami akan hidup sendiri nantinya. Tentu dengan jalan kami masing-masing.

“Hm,” Aku berdehem, sungguh, aku bingung dengan situasi seperti saat ini. Ini tempat karaoke, kan? Kenapa kita tidak menyanyi? Sesampainya disana, kami memesan beberapa jus dan cemilan. Lalu ketika aku mengusulkan beberapa lagu yang ingin kunyanyikan.. Muram. Semua wajah sahabatku terlihat tak bersemangat. Aku pun memutuskan untuk ikut hanyut dalam keheningan di ruangan yang beroleskan gambar awan di dindingnya.

“Apa itu hidup?”

Aku langsung menoleh ke arah Mentari. Apa yang dia katakan?

“Apa itu bahagia?” Sahut Yura. Aku menolehkan wajahku ke Yura. Dia hanya mengatakannya, lalu kembali terdiam. Aku menatap mereka berdua bergantian. Lalu perhatianku teralihkan pada Adrianna yang tiba-tiba menyentuh tanganku. Tangan kecil itu terasa dingin. Jantungku berdegup dengan cepat. Apa arti dari semua ini? Apa yang sedang terjadi disini?

Satu jam telah berlalu. Waktu berjalan sangat lambat menurutku. Aku benci perasaan seperti ini. Ketika mereka menampakkan wajah pilu itu, ketika mereka berbicara dalam diam, ketika mereka saling mengerti akan kesulitan yang mereka hadapi hanya dengan saling memandang. Aku benci karena aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tidak ada satupun yang aku mengerti. Aku hanya bisa diam, menunggu mereka mau menjelaskan semuanya padaku.

Dua jam sudah kami berempat duduk diam di tempat ini. Atmosfer di ruangan ber-AC ini semakin membuatku kesal. Aku menghela nafasku dengan berat, lalu aku pun berdiri. Tak ada respon dari sahabatku. Aku mengambil remote yang tergeletak di atas meja dengan gusar, lalu menekan tombol secara acak. “Yura! Kau memegang mic, tapi kenapa diam saja?” kataku dengan nada tinggi, “Mentari! Kau juga memegang mic kan? Cepat bernyanyi! Atau aku saja yang bernyanyi, hah?” kataku dengan nada yang lebih tinggi. Mereka masih bergeming. Lalu aku melihat cairan bening sudah akan menetes dari ujung mata Yura. Aku menekan-nekan tombol lagi dengan brutal. “Anna! Kenapa diam saja?! Bantu aku memilih lagu. Lagu mana yang kau suka?” kataku sembari melempar buku berisi daftar lagu kepada Adrianna. Mentari menatapku dengan tatapan sendu, Adrianna hanya menunduk, dan Yura sudah terjatuh dalam lubang tangis.

“Arrgghhh! Ayo kita lakukan sesuatu!!” Wajahku mulai terasa panas. Isak tangis Yura semakin terdengar. Aku pun menundukkan kepalaku. Remote itu terjatuh dari genggaman tanganku. Aku menyerah.

“Aku bosan. Aku ingin keluar dari sini. Aku ingin hidupku berubah. Aku tak mau berjuang lagi. Hiks, aku lelah dengan semuanya.” Kata Mentari. Ia pun sekarang ikut menangis, Yura memeluk tubuh lemas Mentari. “Aku merindukan ibuku..” katanya lagi. Kalau saja aku sudah menekan tombol ‘Play’ lalu musik sudah mendominasi ruangan ini, mungkin aku sama sekali tidak akan bisa mendengar kalimat yang dikatakan oleh Mentari tadi. Aku merindukan ibuku. Mentari merindukan ibunya…
Aku melirik Adrianna yang masih menunduk. Ada ribuan kata yang tak terdengar dari sana. Pikirku.

“Aku benci mama, papa dan semuanya yang terjadi di keluargaku. Aku sangat benci sampai-sampai aku tidak ingin peduli lagi dengan mereka. Mereka sudah merenggut kebahagiaanku yang bahkan belum sempat kurasakan. Dan lagi..” Yura mempererat pelukannya pada Mentari. “Setelah aku kehilangan dia, kebahagiaan yang baru saja mendatangiku langsung lenyap seketika. Hatiku hancur.. Semuanya menjadi pecahan yang tak bisa lagi kurangkai. Apa sebenarnya yang Tuhan ingin aku lakukan? Aku bangkit dari keterpurukan masa lalu, berjuang perlahan-lahan, lalu ketika kebahagiaan sudah kugenggam.. lenyap. Tak bersisa.” Tambahnya. Tanganku gemetaran mendengarnya. Ia benar-benar mencurahkan semua kisahnya hanya dalam rangkaian kata sederhana. Walau begitu, aku mengerti apa yang dia maksud. Tentu, aku dan semuanya yang ada di ruangan ini tahu benar apa yang terjadi pada Yura.

Aku melirik Adrianna lagi, perlahan dia mengangkat wajahnya. Deraian air mata nampak membekas di pipinya. “Aku..” dia mendesah, lalu membuka lembaran demi lembaran buku yang ada di pangkuannya. “Aku baik-baik saja.”

“Katakan saja, kami akan mendengarkanmu.” Kata Yura.

“Awalnya aku memang baik-baik saja. Setelah aku mulai menjalani kehidupanku tanpa kalian, sedikit demi sedikit, aku jatuh. Aku kehilangan banyak energi yang selama ini kudapatkan dari tawa kalian, nasihat kalian, dan kehidupan kita dulu. Aku hancur, sama hancurnya dengan perasaan kalian saat kalian kehilangan orang yang tersayang. Banyak tekanan dari orang tua yang kudapat, adik satu-satunya hanya menambah beban pikiranku, lalu teman-teman di lingkungan baruku.. mereka hanya berlagak peduli, tapi sebenarnya mereka hanya membantuku menuju kehancuran. Aku tidak bisa terus seperti ini, kan? Aku merasa sangat menyedihkan..” speechless. Ini kali pertamanya aku mendengar seorang Adrianna berbicara dengan semua kalimat rumit itu. Aku dekat dengannya, mungkin bisa dikatakan akulah yang paling dekat dengan Adrianna. Tapi tak pernah sekalipun aku mendengar semua keluhan itu. Belum pernah sama sekali.

Bibirku bergetar. Ah.. Bagaimana bisa aku berkeringat di suhu rendah seperti ini? Aku gila. Nyaris berteriak. Aku berbalik lalu menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Jujur, aku ingin menangis. Setelah mendengar semuanya, aku merasa sakit. Aku merasa lubang dalam diriku semakin menganga. Aku menyentuh kenop pintu, berniat untuk keluar dari ruangan ini secepatnya. Namun aku malah berbalik, lalu memandangi satu persatu sahabatku yang masih duduk disana.

“Hey,” mereka balik menatapku, Yura mengusap air matanya.

“Dunia memang begini, dari dulu sampai sekarang. Bahkan sampai nanti akan tetap penuh dengan cobaan. Kadang kita akan menemukan kebahagiaan di sela-sela kesulitan, kadang juga akan menemui kesakitan tak berujung. Aku mungkin lebih beruntung dari kalian, karena aku tidak semenderita kalian, tapi percayalah kalau aku ada diantara kalian itu untuk menguatkan kalian. Maaf aku belum bisa menjadi orang yang lebih kuat untuk kalian, maaf.” Jelasku. Adrianna menangis, tangannya meremas kertas yang sedang ia pegang. Yura dan Mentari hanya menatapku, memahami apa yang aku coba katakan.

“Yang aku tahu dari hidup ini adalah kita harus terus hidup. Bagaimanapun sulitnya, tetaplah berjuang untuk hidup. Kalau kita tetap sabar dan terus menanti, pasti kelak kita akan bertemu dengan kebahagiaan kita. Tuhan hanya menundanya sekarang, dan kebahagiaan itu akan datang seiring kerja keras kita. Percayalah.” Kataku. Aku tidak tahu apa yang baru saja keluar dari mulutku. Yang kutahu, setelah ini aku akan ikut berjuang bersama mereka. Aku akan berlatih agar menjadi lebih kuat dari mereka. Jadi, aku bisa melindungi mereka. “Kumohon tetaplah hidup, ya? Bukan untuk apa-apa, melainkan untuk aku dan demi persahabatan kita. Bisa kan?” Kataku lagi. Aku tersenyum lalu berbalik. Baiklah, aku akan keluar dari sini lalu memulai semuanya dari awal.

Aku. Ada. Untuk. Mereka.

++

Drrrssshh
“Setelah kami lulus, semuanya berubah.” Kataku. Aku bicara banyak hal pada hujan hari ini. Hujan masih belum reda, suara khas-nya adalah melodi penenang jiwa bagiku. “Menjadi lebih baik.” Lanjutku.

Setelah lulus, kami berpisah. Tapi ikatan diantara kami masih kuat.

Sekarang Mentari adalah mahasiswi di politekkes Bandung.

Yura memulai karirnya di UGM. Banyak perusahaan yang berminat pada Yura bahkan sebelum Yura lulus dari sana.

Lalu Adrianna, seperti saranku beberapa tahun lalu, dia sekarang sekolah di universitas terkenal di Semarang. Calon bidan.

Aku..

Aku sekarang disini. Dirumahku. Aku mengambil libur panjang dari aktivitas panjang dan melelahkan itu. Aku calon psikolog. Dua semester lagi aku akan lulus. Tapi disaat-saat sibuk seperti ini, aku lebih memilih untuk pulang dan tinggal di rumah untuk sementara.
Aku lelah.

Untuk apa aku mendalami ilmu psikologi kalau aku sendiri tidak bisa memahami apa yang terjadi pada diriku sendiri? Aku memiliki keluarga yang amat sangat sempurna. Namun aku terlambat untuk menyadari itu semua. Setelah hidup sendiri, aku baru merasakan bahwa hidup tanpa orang-orang rumah adalah sangat sulit. Mereka berlalu-lalang, kesana-kemari melewati pintu kamarku. Dulu aku adalah seorang yang tidak tahu menahu soal apapun yang terjadi di rumah. Aku hanya peduli dengan hidupku dan angan-anganku. Baiklah, sekarang pun aku masih hidup dengan mereka. Hidup dan angan-angan. Aku sama sekali tidak bahagia dengan semua itu sekarang. Aku ingin memutar kembali waktu, pulang ke rumah sebagai remaja berumur 16 tahun. Aku ingin melewati semuanya bersama keluargaku.

“Hujan, sekarang hidup dirumah pun tidak sebahagia apa yang ada di bayanganku. Waktu dan keegoisanku telah mengubah semuanya. Aku bisa melindungi mereka, tapi tidak dengan hidupku sendiri. Aku masih hidup sampai saat ini, tapi ragaku sudah mati. Bagaimana menurutmu?” Hujan masih enggan memberi komentar. Aku mulai menangis. “Aku ingin memiliki perasaan seperti dulu ketika aku ingin berjuang untuk hidup. Walaupun akan berbeda, hanya dengan memiliki perasaan itu saja sudah membuatku senang.” Kilauan kilat baru saja menyapa langit.

Knock knock

Aku berjalan menuju ruang tamu, ketika kubuka pintu rumahku, aku mendapati seseorang tengah berdiri di bawah hujan sembari membawa banner bertuliskan..

Riri

Aku berjalan mendekatinya, heran. Apa yang dia lakukan? Dia menunjukkan banner lain padaku. Aku hanya melongo. Dia tersenyum, “Maaf aku terlambat. Sekarang aku sudah cukup kuat untuk mengabulkan semua permintaanmu. Kamu ingin bahagia, aku juga menginginkan hal yang sama. Hiduplah denganku, Riri.”

Aku masih menatapnya tak percaya. Itu Sam? Bagian dari masa laluku? Orang yang dulu berkata ingin membuatku bahagia, tapi malahan sebaliknya? Itu benar dia? Aku melihat banner yang ia genggam. “Marry Me

Hujan perlahan mulai mereda. Aku memintanya untuk mengatakannya sekali lagi.

“Menikahlah denganku.” Katanya dengan suara lantang. Kupejamkan mataku.  

Sesakit apapun masa laluku bersama dia, sampai sekarang aku masih memercayainya. Aku percaya kalau hanya dia yang bisa kupegang kata-katanya. Aku selalu percaya bahwa hanya dia yang bisa melindungiku. Dan aku percaya kalau hanya dia yang kubutuhkan untuk menutupi semua kesalahanku di masa lampau.

Aku pun tersenyum. Hujan, aku akan hidup bahagia mulai sekarang. Promise you.   


#End
is that a happy ending? hope i and my bestie get the same destination. But i prefer be a doctor than psycholog xD 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

think before comment (: